1.
SUBYEKTUM YURIS
Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum sebagai subyek hukum. Badan- badan hukum yang ada ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf dan akhir- akhir ini juga yayasan.
Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3).
Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum sebagai subyek hukum. Badan- badan hukum yang ada ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf dan akhir- akhir ini juga yayasan.
Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3).
Jawa
Tengah mengakui juga sebagai badan hukum, perkumpulan- perkumpulan yang
mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi.
Di pulau Bali didapat pula badan- badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa- rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hambah setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah colonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari- hari. (Van Vollenhoven “Het Adatrecht van Nederland- Indie” jilid II halaman 545).
2. MANUSIA SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum (Djojodiguno memakai istilah “kecakapan berhak”) yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat perkecualian- perkecualian sebagai berikut :
a. Di Jawa Tengah dalam tahun 1934- 1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang laki- laki saja yang berhak menjadi kepala desa.
b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi penghulu andiko atau mamak- kepala- waris.
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojodiguno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa.
Kapan seorang- orang dianggap dewasa? Criteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan criteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat.
Dalam hukum adat criterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan- kenyataan cirri- cirri tertentu (Profesor Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java” halaman 31).
Ciri- cirri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau belum? Menurut Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah :
a. Kuwat gawe (dapat/ mampu bekerja sendiri).
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala- galanya itu.
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri atau pun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.
Menurut Profesor Djojodiguno dalam bukunya “Asas- asas Hukum Adat”, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang- orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralian dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsungsedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah “mentas” atau “mencar” (Jawa).
Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang belum sampai keadaan yang demikian itu, tentu sama sekali belum cakap melakukan perbuatan hukum.
Misalnya dalam menghadap hakim di muka pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubungan dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya, maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya, tetapi bila perkara yang sedang diadili itu ia dianggap telah cukup cakap untuk memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum.
Raad van Justitie (Pengadilan Tinngi), Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap “ cakap menyatakan kehendaknya sendiri (“ mondigheid”) sebagai berikut :
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai istri (“ geslachts rijp- heid”)
c. Cakap untuk melakukan perbuatan- perbuatan sendiri.
Keputusan Raad van Justitie tersebut di atas menunjukkan adanya pemakaian dua macam kriterian yang tergabung menjadi satu, yakni criteria Barat yaitu umur dan criteria Adat yaitu kenyataan cirri- cirri tertentu.
Umur 15 tahun diambil dari pasal 29 Kitab Undang- undang Hukum Perdata serta cakap untuk melakukan perbuatan- perbuatan sendiri diambil dari criteria Adat. Keputusan Raad van Justitie ini sudah barang tentu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Hukum Adat, khususnya dalam bidang penetapan criteria dewasa.
Hal ini jelas sekali terlihat dalam gejala yang Nampak pada penetapan criteria untuk dewasa atau cakap hukum dalam perkembangan Hukum Adat menuju Hukum Nasional, yaitu bahwa criteria umur, di samping status sudah kawin, lambat laun menjadi biasa dipakai menggantikan criteria kenyataan cirri- cirri tertentu.
Sebagai bukti terhadap mulai ditinggalkannya criteria cirri- cirri tertentu serta mulai dipakainya criteria umur kiranya dapat disebut Keputusan Mahkama Agung tanggal 3 September 1958 Reg. No. 316/K/Sip/1958 dalam mengadili tingkat kasasi perkara gugatan seorang anak kepada bapaknya yang sementara itu sudah bercerai dari ibunya, minta pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan. Dalam konsiderans keputusan tersebut telah berumur 20 tahun, ia dipandang sudah dewasa, sehingga tuntutannya akan pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan tidaklah beralasan dan dengan demikian tuntutan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
3. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Di muka telah dijelaskan, bahwa dalam hukum adat sebagai badan- badan hukum yang dapat pula bertindak sebagai subyek hukum adalah persekutuan (desa, nagari, family, marga dan lain sebagainya), perkumpulan- perkumpulan yang memiliki organisasi yang tegas dan rapi mapalus, (Minahasa), jula- jula (Minangkabau), mohakka (Salayar), subak (Bali) dan lain sebagainya, wakaf dan akhir- akhir ini juga yayasan.
Perlu mendapat pembahasan khusus adalah kiranya yang tersebut dua terakhir itu (wakaf dan yayasan), sebab yang lain- lain telah mendapat sorotan cukup pada pembahasanacara- acara yang lain di muka.
Di pulau Bali didapat pula badan- badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa- rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hambah setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah colonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari- hari. (Van Vollenhoven “Het Adatrecht van Nederland- Indie” jilid II halaman 545).
2. MANUSIA SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum (Djojodiguno memakai istilah “kecakapan berhak”) yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat perkecualian- perkecualian sebagai berikut :
a. Di Jawa Tengah dalam tahun 1934- 1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang laki- laki saja yang berhak menjadi kepala desa.
b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi penghulu andiko atau mamak- kepala- waris.
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojodiguno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa.
Kapan seorang- orang dianggap dewasa? Criteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan criteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat.
Dalam hukum adat criterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan- kenyataan cirri- cirri tertentu (Profesor Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java” halaman 31).
Ciri- cirri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau belum? Menurut Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah :
a. Kuwat gawe (dapat/ mampu bekerja sendiri).
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala- galanya itu.
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri atau pun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.
Menurut Profesor Djojodiguno dalam bukunya “Asas- asas Hukum Adat”, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang- orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralian dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsungsedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah “mentas” atau “mencar” (Jawa).
Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang belum sampai keadaan yang demikian itu, tentu sama sekali belum cakap melakukan perbuatan hukum.
Misalnya dalam menghadap hakim di muka pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubungan dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya, maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya, tetapi bila perkara yang sedang diadili itu ia dianggap telah cukup cakap untuk memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum.
Raad van Justitie (Pengadilan Tinngi), Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap “ cakap menyatakan kehendaknya sendiri (“ mondigheid”) sebagai berikut :
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai istri (“ geslachts rijp- heid”)
c. Cakap untuk melakukan perbuatan- perbuatan sendiri.
Keputusan Raad van Justitie tersebut di atas menunjukkan adanya pemakaian dua macam kriterian yang tergabung menjadi satu, yakni criteria Barat yaitu umur dan criteria Adat yaitu kenyataan cirri- cirri tertentu.
Umur 15 tahun diambil dari pasal 29 Kitab Undang- undang Hukum Perdata serta cakap untuk melakukan perbuatan- perbuatan sendiri diambil dari criteria Adat. Keputusan Raad van Justitie ini sudah barang tentu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Hukum Adat, khususnya dalam bidang penetapan criteria dewasa.
Hal ini jelas sekali terlihat dalam gejala yang Nampak pada penetapan criteria untuk dewasa atau cakap hukum dalam perkembangan Hukum Adat menuju Hukum Nasional, yaitu bahwa criteria umur, di samping status sudah kawin, lambat laun menjadi biasa dipakai menggantikan criteria kenyataan cirri- cirri tertentu.
Sebagai bukti terhadap mulai ditinggalkannya criteria cirri- cirri tertentu serta mulai dipakainya criteria umur kiranya dapat disebut Keputusan Mahkama Agung tanggal 3 September 1958 Reg. No. 316/K/Sip/1958 dalam mengadili tingkat kasasi perkara gugatan seorang anak kepada bapaknya yang sementara itu sudah bercerai dari ibunya, minta pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan. Dalam konsiderans keputusan tersebut telah berumur 20 tahun, ia dipandang sudah dewasa, sehingga tuntutannya akan pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan tidaklah beralasan dan dengan demikian tuntutan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
3. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Di muka telah dijelaskan, bahwa dalam hukum adat sebagai badan- badan hukum yang dapat pula bertindak sebagai subyek hukum adalah persekutuan (desa, nagari, family, marga dan lain sebagainya), perkumpulan- perkumpulan yang memiliki organisasi yang tegas dan rapi mapalus, (Minahasa), jula- jula (Minangkabau), mohakka (Salayar), subak (Bali) dan lain sebagainya, wakaf dan akhir- akhir ini juga yayasan.
Perlu mendapat pembahasan khusus adalah kiranya yang tersebut dua terakhir itu (wakaf dan yayasan), sebab yang lain- lain telah mendapat sorotan cukup pada pembahasanacara- acara yang lain di muka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar