BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
alam adalah hukum yang digambarkan berlaku abadi sebagai hukum dan
norma-norma-normanya berasal dari tuhan yang maha adil, dari alam semesta dan
dari akal budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi sebegitu jauh tidak
terikat waktu dan tempat, sebagai hukum yang sanggup menyalurkan kebenaran dan
keadilan dalam tingkatan yang semutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia.
Oleh karenanya hukum alam memiliki sifat yang lebih sempurna dan mempunyai
derajat yang lebih tinggi daripada ius constitutum ataupun ius constituendum.
Keadilan
menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Keadilan adalah
persoalan kita semua, dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban
untuk melaksanakan keadilan itu. Dalam hal ini orang tidak boleh bersifat
netral apabila terjadi sesuatu hal yang tidak adil.
Keadilan
ini dipahami sebagai hukum yang lebih tinggi atau terakhir yang berkembang dari
sifat alam semesta, dari tuhan dan akal manusia. Oleh sebab itu, hukum dalam
arti hukum pada taraf terakhir bagaimanapun lebih tinggi daripada pembentukan
hukum.ini berarti bahwa pembentuk undang-undang pada hakikatnya berada di bawah
dan tunduk kepada hukum. Adalah maksud penulis untuk menulis dan menyelidiki
kelangsungan hukum terutama dalam hal menegakkan keadilan. Oleh karena itu
makalah ini kami beri judul “hukum dan keadilan” khususnya dalam pandangan
secara filosofis.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keadilan
Perbincangan tentang keadilan
rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum,
mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu
tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang
tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat
menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna
keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang
diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti
sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam
sampai pada hakikat yang paling dalam.
Selanjutnya
aristoteles dalam The Ethics of aristoteles, terjemahan J.A.K . Thomson, buku
kelima, Bab I-IV, hal 139-150, di sunting oleh S. Tasrif, mengatakan bahwa bila
orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya
suatu pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang tidak
adil.[2]
Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang dasar
yang perlu diperhatikan, sebagai berikut :
a) Pandangan
kaum awami ( pendapat awam ) yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang
dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan
pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil” neraca hukum “ yakni “takaran hak
dan kewajiban”.
b) Pandangan
para ahli hukum ( Purnadi Purbacaraka ) yang pada dasarnya merumuskan bahwa
keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
Adanya
kenyataan berdasarkan dalil “ takaran hak adalah kewajiban”, yang secara jelas
berarti seperti berikut ini :
a) Hak
setiap orang itu besar kecilnya tergantung pada atau selaras dengan besar kecil
kewajibannya.
b) Dalam
keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat memperoleh haknya
secara tidak selaras dengan kewajibannya atau tidak pula selaras kalau
seseorang itu dibebankan kewajiban yang tidak selaras dengan haknya.
c) Tiada
seorangpun dapat memperoleh haknya tanpa ia melaksanakan kewajibannya, baik
sebelum maupun sesudahnya, dan dengan demikian pula sebaliknya tiada seorangpun
yang dapat dibebankan kewajibannya tanpa ia memperoleh haknya, baik sebelum
maupun sesudahnya.
Contohnya :
v Setiap
pemilik suatu benda atau pemegang hak milik atas suatu benda harus membayar
pajak kekayaannya atas benda miliknya itu dalam jumlah tertentu yang ditentukan
menurut harga atau nilai bendanya tersebut. semakin mahal harga atau nilai
benda tersebut, maka semakin mahal pula pajak yang harus dibayar oleh
pemiliknya dan demikian pula sebaliknya.
v Upah
seorang pegawai tentunya diselaraskan dengan berat ringan pekerjaannya.
Bahwa
suatu keadilan merupakan hakikat hukum dalam masyarakat (rapport du droit,
inbreng van recht). Semuaarti lain menunjuk kea rah ini sebagai arti dasar
segala hukum.[3]
Pandangan para Filosof tentang keadilan
a)
Plato, menurutnya keadilan hanya
dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang
khusus memikirkan hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata
yunani ”Dikaiosune” yang
berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan social. penjelasan
tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama
Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita
melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia
dengan yang lain.
b)
Aristoteles, adalah seorang filosof
pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia
bereat mundus. Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk
yaitu :
Pertama, keadilan distributif,
adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya
memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip
kesamaan proporsional.
Kedua, keadilan korektif, yaitu
keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan
serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh
hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan
milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya
yang hilang
Atau kata lainnya keadilan distributif adalah
keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan
korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa
yang diberikan.
c)
Ulpianus yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada
setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribuendi).
d)
Justinian yang menyatakan
bahwa “keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap
orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”
e)
Herbert Spenser yang me nyatakan bahwa setiap orang
bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar
kebebasan yang sama dari lain orang”.
f)
Roscoe Pound yang melihat indikator
keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada
masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa
perumusan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang
sekecil-kecilnya.
h) John
Salmond
yang menyatakan bahwa norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdeka an
individual dalam mengejar ke makmuran individual, sehingga dengan demikian
membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan
umat manusia.
i)
Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga
digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama
kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya
mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma”adil’ hanya kata
lain dari ‘benar”.
j)
Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut rawls,
ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga
secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang
mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang
berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh
suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat
yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.
Keadilan dalam perpektif filsafat hukum
a.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta
diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme
norma hukum alam primer yg bersifat umum menyatakan:Berikanlah kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan
merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan
oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
b.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya
saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering
mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium
yang selalu didengungkan adalah Suum
jus, summa injuria; summa lex, summa crux. Secara harfiah
ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan
dapat menolongnya.
c.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran
satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar
dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang
dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi”.[4]
Perspektif tentang keadilan sebagaimana dirumuskan di atas,
menurut Satjipto Rahardjo, seperti dikutip oleh Angkasa bahwa keadilan mencerminkan
bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana
seseorang memperlakukan manusia.
Lebih lanjut Angkasa
mengatakan bahwa Karena keadilan adalah ukuran yang dipakai seseorang dalam
memberikan terhadap objek yang berada di luar diri orang tersebut.
Mengingat objek yang dinilai adalah manusia maka ukuran-ukuran yang diberikan
oleh seseorang terhadap orang lain tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana
seseorang tersebut memberikan konsep atau makna tentang manusia. Apabila
seseorang melihat orang lain sebagai mahluk yang mulia maka perlakuan seseorang
tersebutpun akan mengikuti anggapan yang dipakai sebagai ancangan
dan sekaligus akan mentukan ukuran yang dipakai dalam menghadapi orang
lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan
tidak dapat dilepaskan dengan filsafat tentang manusia”.
KESIMPULAN
·
Pandangan kaum awam yang pada
dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian
antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil ”neraca
hukum” yakni “takaran hak dan kewajiban”.
·
Selanjutnya, Pandangan para ahli
hukum pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara
kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
·
Aristoteles, Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
·
Bahwa suatu keadilan merupakan
hakikat hukum dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht).
·
Pada dasarnya keadilan adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak hanya dapat dilihat dari
unsure-unsur materiil
·
Sama bukan berarti adil
DAFTAR PUSTAKA
Ø M. shodiq dahlan.Hukum Alam Dan Keadilan dalam
buku Filsafat Hukum mazhab & refleksinya.Remaja
Rosdakarya.Bandung.1994
Ø DR. Theo Huijbers.Filsafat Hukum.Kanisius.Yogyakarta.1995
Ø Ansori,
Abdul Gafur, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah
Mada Universisty Press.Yogyakarta.2006
[1] M. shodiq dahlan.Hukum Alam Dan Keadilan dalam buku Filsafat
Hukum mazhab & refleksinya.Remaja Rosdakarya.Bandung.1994.hal17
[2] M. shodiq dahlan.Hukum Alam Dan Keadilan dalam buku Filsafat
Hukum mazhab & refleksinya.Remaja Rosdakarya.Bandung.1994.hal25
[3] DR. Theo Huijbers.Filsafat Hukum.Kanisius.Yogyakarta.1995.hal77
[4] Ansori, Abdul Gafur, Filsafat Hukum
Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada Universisty
Press.Yogyakarta.2006
makalahnya sangat membantu, buat tambah pengetahuan tentang keadilan.
BalasHapuskeren. makasih ya