PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Sesuai
dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak
ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan
“kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan
yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada
masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai
kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena
bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini
berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal
dan tak terjadi perceraian sebelumnya.
Untuk
lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan
akan lebih jelas dikatakan:
“Perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami –
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai
dengan Dhamma.”[1]
Buddha tidak pernah
mengajarkan keharusan atau larangan khususnya dalam perkawinan dan berdasarkan
ajaran kebebasan itulah maka penganut Buddha diperbolehkan atau tidak dilarang
seorang pria Buddha mengikat perkawinan dengan wanita non Buddhis, demikian
juga dengan wanita Buddhis diperbolehkan atau tidak dilarang mengikat
perkawinan dengan pria non Buddha.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkawinan menurut pandangan agama Budha?
2. Bagaimana prosesi perkawinan dalam ajaran agama Budha?
3. Apakah Tujuan Perkawinan menurut agama Budha?
4. Bagaimana aturan pernikahan beda agama dalam ajaran
Budha?
PEMBAHASAN
Dalam pandangan
agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan bukan kewajiban, artinya
seseorang dapat menjalani hidup berumah tangga atau hidup sendiri. Dalam agama
Buddha, hidup berumah tangga atau tidak sama saja. Yang paling penting adalah
ia harus konsekuen dan setia terhadap pilihannya, serta melaksanakan tugas dan kewajiban
dengan sebaik-baiknya.[2]
Perkawinan Dalam
menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang
adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan
cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik,
mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri. Memang, hal
tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232
dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat
sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus
membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:
1.
Kerelaan (dana)
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai
dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat
kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin
diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain.
Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini
bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk
membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu
yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan
seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan
bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan
segala kesalahan anaknya
2.
Ucapan yang
Baik/Halus (Piyavaca)
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus,
termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar,
walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar
berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina
hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi
kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan
hubungan.
3.
Melakukan Hal
yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan
konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga
semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah
mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus
berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya,
kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
4.
Batin Seimbang,
Tidak Sombong (Samanattata)
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan
tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak
memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala
sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu
disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian
pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena
satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Pernikahan
merupakan ikatan suci yang harus dijalin dengan cinta dan kasih sayang seperti
yang diajarkan oleh sang Budha. Perkawinan yang didasarkan cinta dan kasih
sayang dipersatukan dalam ikatan lahir bathin pula, yang hidup selamanya
bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya. Tujuan perkawinan adalah mencapai
rumah tangga dan keluarga yang bahagia.
Agar hal ini dapat tercapai, maka suami istri harus memiliki keyakinan (sudha)
yang sebanding, tata susila (sila) yang sebanding, kumurahan hati (saga) yang
sebanding, dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding.[3]
Dengan memiliki
4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami
– istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan
suasana kehidupan yang penuh harmoni.[4]
Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah
memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena
tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang
pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis,
pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan
di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki,
pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya
berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan.
Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan
kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan
perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin.
Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga
serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual
yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru
menikah.
Sedangkan tata cara perkawinan
Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah
adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat
itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain
kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah
dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya
batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan
pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan
kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha
Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari
pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga
merupakan teman hidupnya.[5]
TATA CARA
PERKAWINAN
1. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara
agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari
majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang
mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu
atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia,
serta dengan melampirkan :
a. Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua
calon mempelai.
b. Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir
dari kedua calon mempelai.
c. Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang
status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
d. Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21
tahun.
e. Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah
diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus
ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari
kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
2. PELAKSANAAN UPACARA
A.
TEMPAT
UPACARA
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat
dilangsungkan di vihara, cetiya
atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
upacara perkawinan.
B.
PERLENGKAPAN
ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan
peralatan upacara :
a. Altar dimana terdapat Buddharupang.
b. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
c. Tempat dupa
d. Dupa wangi 9 batang
e. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk
dipercikkan)
f. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk
dipersembahkan oleh kedua mempelai
g. Cincin kawin
h. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
i. Pita kuning sepanjang 100 cm
j. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan
bhikkhu (apabila hadir)
k. Surat ikrar perkawinan
l. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa
bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C.
PELAKSANAAN
UPACARA PERKAWINAN
1. Kedua calon mempelai (calon mempelai pria di sebelah
kanan calon mempelai wanita) memasuki tempat upacara dari pintu utama
Dhammasālā menuju ke depan Altar Sang Buddha dengan diiringi oleh kedua
orangtua atau wali di belakangnya yang berjalan secara dua-dua tiap barisnya.
Semua berjalan dengan tertib dan teratur diikuti oleh sanak saudara dan handai
taulannya. Pandita pemimpin upacara, petugas dan para saksi telah berada di
tempat upacara.
- Pandita menanyakan kepada kedua
mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka
melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak
ada maka acara dapat dilanjutkan.
- Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua
dari kedua mempelai.
Upacara perkawinan
dimulai dengan penyalaan lilin lima warna dinyalakan secara berurutan:
Lilin biru : dinyalakan oleh ayah/wali calon
mempelai pria
Lilin kuning : dinyalakan oleh ibu/wali calon mempelai
pria
Lilin merah : dinyalakan oleh pandita pemimpin upacara
Lilin putih : dinyalakan oleh ayah/wali calon
mempelai wanita
Lilin jingga : dinyalakan oleh ibu/wali calon mempelai
wanita
- Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
Kedua calon mempelai
bersama-sama mempersembahkan bunga di Altar Sang Buddha kemudian
mempersembahkan buah. Setelah itu, kedua calon mempelai menempati tempat duduk yang telah
disediakan dan secara bersama-sama bersujud kepada Sang Buddha dengan bersikap
namakāra (bersujud dengan lima titik, yaitu: dahi, kedua lengan, dan kedua
lutut menyentuh lantai) sebanyak tiga kali secara bersamaan.
- Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin
namaskara
Pandita pemimpin upacara secara resmi membuka
upacara perkawinan dengan menyalakan 3 batang dupa/hio wangi di Altar Sang Buddha. Kemudian pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakàra-Pàñha, yang
selanjutnya diikuti oleh kedua calon mempelai bersama segenap hadirin yang
hadir baris demi baris.
- Pernyataan ikrar perkawinan
a.
Calon mempelai pria memegang
3 batang dupa/hio dengan sikap añjali (merangkapkan kedua belah tangan di depan
dada dengan jari-jari tangan dirapatkan satu sama lain) kemudian mengikuti kata
demi kata Vandana dan Ikrar Perkawinan yang diucapkan oleh pandita pemimpin
upacara.
b.
Selanjutnya calon
mempelai wanita memegang 3 batang dupa/hio dengan sikap añjali (merangkapkan
kedua belah tangan di depan dada dengan jari-jari tangan dirapatkan satu sama
lain) kemudian mengikuti kata demi kata Vandana dan Ikrar Perkawinan yang
diucapkan oleh pandita pemimpin upacara.
c.
Kemudian kedua calon
mempelai secara bersama-sama bersujud dengan sikap namakāra sebanyak 3 kali ke
arah Altar Yang Mahasuci Sang Buddha Gotama.
- Pemasangan
cincin kawin.
- Pengikatan
pita kuning dan pemakaian kain kuning.
Pandita pemimpin upacara
akan mengikat pergelangan tangan kiri calon mempelai pria dengan pergelangan
tangan kanan calon mempelai wanita dengan pita kuning, kemudian kedua calon
mempelai diselubungi dengan kain kuning oleh kedua orangtua/wali dari pihak
calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dibantu petugas upacara.
- Pemercikan
air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
a. Pandita pemimpin upacara
akan mempersilahkan kedua orangtua/wali dari calon mempelai pria untuk
mengambil Air Pemberkahan dari Altar dengan sebelumnya bersujud dengan sikap
añjali ke arah Altar. Setelah itu dipersilahkan untuk memercikkan air tersebut
kepada kedua calon mempelai dengan mendoakan kebahagiaan bagi kedua calon
mempelai
b.
Pandita pemimpin
upacara akan mempersilahkan kepada kedua orangtua/wali dari calon mempelai
wanita untuk melakukan hal yang sama seperti di atas.
c.
Setelah itu baru
pandita pemimpin upacara yang akan memercikan Air Pemberkahan dengan membacakan
Paritta Pemberkahan.
- Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
Pandita
pemimpin upacara mempersilahkan kedua orangtua/wali dari calon mempelai pria
dan wanita untuk membuka kain kuning dengan dibantu petugas upacara,
selanjutnya pandita pemimpin upacara melepaskan pita kuning.
- Wejangan
oleh pandita.
Kedua calon mempelai tetap
duduk dengan posisi santai untuk mendengarkan wejangan dari pandita pemimpin
upacara.
- Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
Setelah selesai wejangan,
petugas upacara akan mempersilahkan kepada kedua calon mempelai, orangtua/wali
dari kedua calon mempelai, kedua orang saksi dan pandita pemimpin upacara untuk
menandatangani Ikrar Perkawinan.
- Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
Pandita pemimpin upacara
mengucapkan selamat kepada kedua calon mempelai dan para hadirin dipersilahkan
memberi ucapan selamat kepada kedua calon mempelai. [6]
Dalam
pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk
mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor
pendukung itu adalah :
a.
Hak dan
Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting
pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka
persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling
menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian,
orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing
pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan
kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian
tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
b.
Kemoralan
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga
hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (sila) dalam kehidupannya untuk
dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga
kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha.
c.
Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga
mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun
negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa
kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak
diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan
oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
d.
Perkawinan
harmonis
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk
keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang
dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang
dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat
terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.[7]
Perkawinan agama dimana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha,
menurut keputusan Sangha Agung Indonesia, diperbolehkan asal pengesahan
perkawinannya dilakukan menurut tatacara agama Budha. Dalam hal ini calon
mempelai yang tidak beragama Budha, tida diharuskan untuk masuk agama Budha
terlebih dahulu. Akan tetapi dalam acara ritual perkawinan, kedua mempelai
diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan
dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melatang
umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi
kalau ada perkawinan antara penganut
agama Budha dengan penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama
Budha.
Di samping itu dalam upaya perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk
mengucapkan atas nama sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung
bearti bahwa calon mempelaiyang tidak beragama Budhamenjadi penganut agama
Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha
pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan
yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa
keberatan.[8]
PENUTUP
Dalam
pandangan agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan bukan kewajiban,
artinya seseorang dapat menjalani hidup berumah tangga atau hidup sendiri.
Dalam agama Buddha, hidup berumah tangga atau tidak sama saja. Yang paling
penting adalah ia harus konsekuen dan setia terhadap pilihannya, serta
melaksanakan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
Tata cara perkawinan
Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah
adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat
itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan
kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah
dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya
batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan
pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan
kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha
Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari
pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga
merupakan teman hidupnya.
Output dari
serangkaian prosesi pernikahan atas bisa disebut juga dengan tujuan dari
perkawinan agama budha ini sendiri adalah mencapai
rumah tangga dan keluarga yang bahagia.
Agar hal ini dapat tercapai, maka suami istri harus memiliki keyakinan (sudha)
yang sebanding, tata susila (sila) yang sebanding, kumurahan hati (saga) yang
sebanding, dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding.
Perkawinan agama dimana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha,
menurut keputusan Sangha Agung Indonesia, diperbolehkan asal pengesahan
perkawinannya dilakukan menurut tatacara agama Budha. Dalam hal ini calon
mempelai yang tidak beragama Budha, tida diharuskan untuk masuk agama Budha
terlebih dahulu. Akan tetapi dalam acara ritual perkawinan, kedua mempelai
diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan
dewa-dewa umat Budha.
DAFTAR PUSTAKA
Eoh,
O.S, 1996, Perkawinan Antar Agama Dalam
Teori dan Praktek, Jakarta, Raja
Grafindo Persada
Santoso Budi Joko,
Al. Suryono, F.M. Sri Darmiati, 2010, Mewujudkan Hidup
Beriman dalam Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Kanisius
(Angggota IKAPI)
http://www.becsurabaya.org/artikel/artikel-buddhis/141-pandangan-agama-buddha-tentang-pernikahan.html
[2] Ag. Joko Budi
Santoso, Al. Suryono, F.M. Sri Darmiati, Mewujudkan
Hidup Beriman dalam Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Kanisius (Angggota
IKAPI), Yogyakarta, Cet. Ke 5, 2010. Hal. 70
[3] Eoh, Perkawinan
Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Hal. 46
[7] http://www.becsurabaya.org/artikel/artikel-buddhis/141-pandangan-agama-buddha-tentang-pernikahan.html
[8] Eoh, Perkawinan
Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Hal. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar