Minggu, 13 Januari 2013

Hukum dan kekuasaan ( Filsafat Hkum)


A.    PENDAHULUAN

   Manusia pada hakikatnya ingin hidup dengan damai dan berada dalam keteraturan, maka untuk mewujudkan keinginan tersebut terbentuklah suatu kesepakatan diantara suatu golongan masyarakat untuk membentuk sebuah peraturan yang mengikat kepada seluruh elemen masyarakat, peraturan-peraturan inilah yang kemudian kita sebut dengan hukum.

Pengertian hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), ahli hukum  terbesar bangsa Romawi, pernah mengatakan, di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas, ibi ius). Biasanya ada beberapa orang yang dipercaya oleh masyarakat tersebut untuk membuat dan menetapkan kebijakan hukum yang akan diberlakukan di daerah masyarakat tersebut, orang-orang yang diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan tersebut merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap lingkungan masyarakatnya. Selanjutnya, pengertian hukum pun tidak dapat dipisahkan dengan negara dalam arti luas (masyarakat bernegara).

Berbicara tentang negara, kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum pun erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Seperti dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja (1970:5), hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dalam penentuan hukum itu sendiri tidak terlepas dari kekuasaan dan kewenangan dari pembuat kebijakan tersebut. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Di sini kita melihat betapa erat hubungan antara hukum, negara, dan kekuasaan itu.

Walaupun terdapat hubungan yang erat, tidak berarti negara berdasarkan atas hukum identik dengan negara berdasarkan atas kekuasaan. Seperti dinyatakan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat). Bukan negara kekuasaan (machtssaat). Dengan demikian, hukum mempunyai kedudukan yang tinggi dalam negara.[1]

Hukum harus menghasilkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Apabila hukum dan kekuasaan yang dijalankan tidak mewujudkan ketiga tujuan vital di atas, maka pelaksanaan hukum dan kekuasaan tersebut hanyalah semu, mementingkan kepentingan individu atau segolongan pemimpin saja.

Lalu dalam kajiannya hal yang perlu dipertanyakan adalah mengapa hukum  dipengaruhi oleh kekuasaan. Mengapa hukum dapat dijadikan sebagai alat melanggengkan kekuasaan (bagi pemegang kekuasaan yang jahat). Selanjutnya bagaimanakah hubungan hukum dengan kekuasaan. Permasalahan-permaslahn tersebut akan dikaji lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Mengapa hukum dipengaruhi oleh kekuasaan dan sebaliknya?
2.      Mengapa hukum bisa digunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan, sedangkan itu bertolak belakang dengan cita hukum yang ada?
3.      Bagaimanakah hubungan hukum dengan kekuasaan?


C.    PEMBAHASAN
1.      Hukum dipengaruhi oleh kekuasaan dan kekuasaan dipengaruhi oleh hukum
·         Hukum dalam Mempengaruhi Kekuasaan
Kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum berperan dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan dan mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Aturan tersebut berguna sebagai cara main yang fair yang bisa mngkoordinir semua pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan[2]
·         Kekuasaan dalam Mempengaruhi Hukum
Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum menjadi mandul. Oleh karena itu perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual bukan empiris karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk melegalkan kepentingan penguasa saja.
Secara konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagain pihak berangkat dari rasa tidak nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan kestabilan masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada sekelompok orang untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka agar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan karaktersitik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan apabila kekuasaanya  otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melingungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.

2.      Hukum bisa dijadikan alat melanggengkan kekuasaan ?
Dalampenerapannya, hukummemerlukansuatukekuasaanuntukmendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakanantarahukum di suatupihakdengannorma-normasosiallainnyadannorma agama. Kekuasaan itu diperlukan olehkarenahukumbersifatmemaksa .Tanpaadanyakekuasaan, pelaksanaanhukum di masyarakatakanmengalamihambatan-hambatan. Semakintertibdanteratursuatumasyarakat, makinberkurangdiperlukandukungankekuasaan.
Hukumitusendirisebenarnyajugaadalahkekuasaan.Hukummerupakansalahsatusumberkekuasaan.Selainituhukum pun merupakanpembatasbagikekuasaan, olehkarenakekuasaanitumempunyaisifat yang buruk, yaituselalumerangsangpemegangnyauntukinginmemilikikekuasaan yang melebihiapa yang dimilikinyadenganmengahalalkansegalacara. Contoh yang popular misalnyasepakterjangpara raja absolute dan dictator.Ataubukanhanya raja bahkanpresiden pun jikatidakdibatasidenganbaikbisaberbuatsemena-menadengankekuasaannya.Kekuasaandipandangsebagaipenjaminkeamanan, kenyamanan, kemakmurandansegalakemewahan.Karenanyakekuasaandicaridenganberbagaicara, tanpapeduliapakahrasional, wajar, ataukahpenuhtipudaya. Pendek kata, demi kekuasaansegalacaradihalalkan.
Dalamrealitaskehidupan, banyak orang percayabahwakekuasaandapatdiperolehdenganmerekayasahukum. Contoh lain: Misalketika investor inginmengembangkanusahapertambangan, sementaraizinusahaberbelit-belit, maka investor segeramendatangipejabatsetempat agar mengubahaturanperizinan. Tawar-menawarberlangsung.Seberapabesarongkosmestidibayar, secaratimbalbalikdiperhitungkandenganprospekkeuntungan yang akandidapat.
Kendalaizinpertambanganteratasidenganperubahanaturan main.Aspeklegalitasmemberikankemudahan, kelancaranusahasekaliguskekuasaanuntukmembentengidiridarisiapa pun yang mengganggunya.Kalauperadaban modern ditandaidenganpembatasankekuasaan agar tidakdigunakansewenang-wenang, danpembatasanitudilakukandenganrambu-rambuhukum, ternyatadalamperkembangannyajustruberbalik, yaituhukumdikendalikankekuasaan.Padakondisidemikian, perlindunganhak-hakwarganegarasulitdijalankanefektifkarenatiranikekuasaanberlangsungatasnamahukum. Relasiantarahukumdankekuasaanterjalinerat, walaupuntidakmudahuntukmenyatakanmana yang lebihdominan.
Kinihukumdankekuasaanseringmelakukankontrolsecaratimbalbalik, kendatikekuatannyaberbeda.Hukumnegaramemilikikualitaskekuatansebagai 'teknologidanmesin', bergeraktertib, teraturdanterukur, sedangkankekuasaanmemilikikekuatantakterstruktur, tergantungmanusiapemegangnya(the man behind the gun).
Agar kekuasaantidakbenturandenganhukum, makamanuverkekuasaanditempuhmelaluiberbagaicara. Sihirdansuapmerupakancaralihai, danlicikuntukmemerangkaphukummasukkedalamskemakekuasaan. Ketikahukumdankekuasaantelahberimpitmelekat, kecenderungannyaberubahmenjadi 'tirani'.Demi hukumkekuasaandijalankandan demi kekuasaanhukumditegakkan.
Persoalannya, kearahmanakiblathukumdankekuasaanitu?Benarbahwatidaksemuakekuasaanberwatakjahat, cenderungkorupsepertidinyatakanLord Acton.Ada kekuasaanberwatakmulia(benevolent).SatjiptoRahardjo (2003) melukiskanciri-cirikekuasaan yang baik: (1)berwatakmengabdikepadakepentinganumum, (2)melihatkepadalapisanmasyarakat yang susah, (3)selalumemikirkankepentinganpublik, (4)kosongdarikepentingansubjektif, (5)kekuasaan yang mengasihi.[3]
Secaraempiriskitasulitmenemukankekuasaanbaikitu.Kekuasaantelahdidominasipraktikpolitikkotor.Ketikahukumdipandangmenjadikendalakekuasaan, makataksegan-seganhukumditaklukkan agar maumengabdikepadakekuasaan.penaklukanhukumitusemakinintensifdanmendapatkanwarnanya yang khassejak era reformasibergulir. Hukumnegarasebagaiprodukpolitiksemakinesoterikdanimun, taktersentuhcampurtanganpublik.LogikaHans Kelsenbahwahukumitumurnisebagaiaktivitasilmiah-akademis, netral, otonom, sungguhsangat ideal; tetapihanyaberlaku di angan-angan.Realitasempirisbicara'tidakadahukumnegarakecualiprodukpolitik'. Politik hukum adalah suatu kebijaksanaan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan idologi yang berkuasa.[4]
“Baikburuknyakekuasaan, bergantungdaribagaimanakekuasaantersebutdipergunakan.Artinya, baikburuknyakekuasaansenantiasaharusdiukurdengankegunaannyauntukmencapaisuatutujuan yang sudahditentukanatausudahdisadariolehmasyarakatlebihdahulu.Hal inimerupakansuatuunsur yang mutlakbagikehidupanmasyarakat yang tertibdanbahkanbagisetiapbentukorganisasi yang teratur”.
Kesadaranhukum yang tinggidanmasyarakatjugamerupakanpembatas yang ampuhbagipemegangkekuasaan.takjarangpemimpin-pemimpin yang dianggaprakyatsemena-menamenggunakankekuasaannyaharustundukpadaprotesrakyatataudengan kata lain lengser.
Pelaksanaan hukum dan kekuasaan tak boleh keluar dari konteks nilai-nilai sosial masyarakat dan prinsip jati diri banga. Pengertian jati diri bangsa di sini adalah pandangan hidup yang berkembang di dalam masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama, berisi konsep, prinsip, dan nilai dasar yang diangkat menjadi dasar negara sebagai landasan statis, ideologi nasional,dan sebagai landasan dinamis bagi bangsa yang bersangkutan dalam menghadapi segala permasalahan menuju cita-citanya. Jati diri bangsa Indonesia tiada lain adalah Pancasila yang besifat khusus, otentik, dan orisinil yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain.[5]
Selain itu ditinjau dari segi Islami mengingat kekuasaan kepemimpinan Islam hanyalah mewakili kekuasaan Allah, maka kewajiban pemimpin Islam adalah menegakkan aturan hukum yang telahdiciptakan oleh Allah (syariat) dalam, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak diperkenankan kepemimpinanan Islam melanggar ketentuan syariat, karena syariat merupakan konsitusi negara yang harus dijalankan oleh seluruh umat Islam.[6]
Jadi, bila hukum dan kekuasaan dipergunakan untuk kepentingan penguasa sangat jauh menyimpang dari tujuan dan cita hukum.

3.      Hubungan hukum dan kekuasaan
Yang dapat, memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli penguasa.  Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memakasakan sanki terhadap pelanggaran kaedah hukum. Hakekat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuaaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum. Jadi, hukum bersumber pada kekusaan yang sah.[7]
Di dalam sejarah tidak jarang kita jumpai hukum yang tidak bersumber pada kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang menurut hukum yang berlaku sesungguhnya tidak berwenang. Revolusi misalnya merupakan kekuasaan yang tida sah (coup de’etat) dan sering merupakan kekuasaan atau kekuasaan fisik. Kekuatan hukum ini seringkali menghapus hukum yang lama dan menciptakan hukum yang baru. Revolusi baru menciptakan hukum atau revolusi itu mendapat dukungan dari rakyat dan berhasil. Kalau tidak berhasil maka revolusi tidak merupakan sumber hukum.Dalam UU no. 19 tahun 1964 revolusi disebut sebagai sumber hukum. Jadi hukum dapat pula bersumber pada kekuatan fisik , tetapi kekuatan fisik bukan merupakan sumber hukum.
Sebaliknya hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, mengusahakan ketertiban dan membatasi uang gerak individu.Tidak mungkin hukum menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right” , pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. [8]Karena barang yang didapat si pencuri tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Sekalipun hukum itu kekuasaan, mempunyai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya dengan sanksi, namun hendaknya dihindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang berkuasa. Karena ada bahkan banyak penguasa yang menyalahgunakan hukum, menciptakan hukum itu semata-mata untuk kepentingan penguasa itu sendiri atau yang sewenang-wenang mengabaikan hukum, maka muncullah istilah “rule of law”.
Apakah yang dimaksud dengan rule of law? Dari bunyi kata-katanya rule of law berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintahkan atau berkuasa. Ini berarti supremasi hukum. Memang rule of law biasanaya diartikan secara singkat sebagai “governance not by man but by law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, hukum adalah untuk manusia, sehingga “governance not by man not by law” tidak boleh diartikan bahwa manusiannya pasif sama sekali dan menjadi budak hukum.[9]
Pada hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lessalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” Pendapat Lessale ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan antara lembaga-lembaga negara. Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercona antara lain daripada ”kekuatan yang terorganisasi”, di mana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”.
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain dan bersifat hirarkis. Kekuasaan tertinggi adalah kedaulatan, yaitu kekuasaan negara secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tak terkecuali.
[10]Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara; dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit) ,kedaulatan hukum (rechtssouvereinteit), dan kedaulatan rakyat (volksouvereinteit) .
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, otoritas.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak memberikan perintah.
Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan yang hampir sama dikemukakan oleh Allend yang menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya (The legally guaranteed power to realise an interest) .
Sedangkan menurut Holland hak itu sebagai kemampuan seeorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi.
Definisi hak menurut Holmes adalah “nothing but permission to exercise certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection, restitution, or compensation by the aid of public force” . Hak dapat pula diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk menuntut pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan.
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban bersifat resiprokal atau timbal balik. Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum (konsep subjektif).








D.    KESIMPULAN
DalamtataranteoritisBahwa pengaruh hukum dan kekuasaan adalah pengaruh timbal balik yang saling mengontrol dan melengkapi. Karena kekuasaan yang tanpa hukum akan terjadi potensi kuat terhadap kesewenang-wenangan sedangkan hukum tanpa kekuasaan menjadi tidak memiliki kekuatan memaksa dalam menyelenggarakan dan mewujudkan keamanan, ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara, dengan kata lain apabila terjadi pertentangan maka energy hokum sering kalah kuat dengan energy kekuasaan. Akibatnya model hokum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam kekuasaan yang bersifat otoriter akan melahirkan hukum yang bersifat konservatif dan ortodok. Sebaliknya dalam kekuasaan yang demokratis akan melahirkan hukum yang bersifat responsive dan populis.
Yang dapat dijadikancatatanadalah:
  1. Hukumbersifatimperatif, tetapirealitasnyatidaksemuataat, sehinggamembutuhkandukungankekuasaan, besarnyakekuasaantergantungpadatingkatkesadaranhukummasyarakat.
  2. Dalampraktek, kekuasaanseringbersifatnegatif, yaituberbuatmelampauibatas-bataskekuasaan, sehinggahukumdibutuhkansebagaipembataskekuasaan (selainkejujuran ,dedikasidankesadaranhukum).
  3. Betapaeratnyadanpentingnyarelasiantarahukumdankekuasaan, hukumtanpakekuasaanadalahangan-angan, tetapikekuasaantanpahukumakandzalim.







DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo ,Darji dan Sidharta. 1995.Pokok-pokok Filsafat Hukum.(Jakarta: PT. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA)
Mertokusumo ,Sudikno. 2007. MengenaL Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty)
Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat hukum Dalam KonsepsiDan Analisa. (Bandung: Penerbit Alumni)
Budiyanto. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan.(Jakarta: Penerbit Erlangga)
Anam, Khoirul. 2011. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. (Yogyakarta: Inti Media)
Salman Luthan, Jurnal Hukum : Hubungan Hukum dan Kekuasaan, 14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal. 174-175.



http://samardi.wordpress.com/2011/11/01/hubungan-hukum-dan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012: pukul 16:48 WIB

http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/02/hubungan-hukum-dengan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012, pukul 18:05 WIB















           





[1] Darji Darmodiharjo dan Sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum. 1995.(Jakarta: PT. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA) hal.188-189
[2]http://samardi.wordpress.com/2011/11/01/hubungan-hukum-dan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012: pukul 16:48 WIB
[4]DR.Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Filsafat Hukum dalam Konsep Dan Analisa. (Bandung: Penerbit Alumni), hal 129
[5]Budiyanto.2002. Pendidikan Kewarganegaraan.(Jakarta: Penerbit Erlangga), hal.17
[6]Khoirul Anam. 2011. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Inti Media), hal 109
[7]ibid, hal 1
[8]Salman Luthan, Jurnal Hukum : Hubungan Hukum dan Kekuasaan, 14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal. 174-175.
[9]Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. 2007. (Yogyakarta: Liberty).hal.20-21
[10]http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/02/hubungan-hukum-dengan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012, pukul 18:05 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar