Tidak ada
yang menyangkal lagi bahwa hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang
hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat (the living law). Sadar
atau tidak setiap hari kita telah melaksanakan nilai-nilai budaya
hukum adat dalam berbagai aktivitas sosial budaya di masyarakat dengan
mengimplementasikan kearifan lokal. Kegiatan gotong royong, tolong menolong,
musyawarah guna menyelesaikan suatu masalah merupakan contoh konkrit
pelaksanaan nilai-nilai budaya hukum adat. Bahkan dengan nilai-nilai tersebut
ternyata mampu menyelesaikan berbagai konflik di berbagai daerah rawan konflik
seperti di Sampit, Aceh, Poso dan Maluku.
Namun,
ketika ditanyakan apakah hukum adat itu maka ada berbagai macam jawaban. Hal ini
menunjukkan bahwa sampai saat ini ada kontroversi mengenai konsep hukum adat.
Pada hal, seperti yang diungkapkan oleh Darmini Mawardi (pakar hukum adat UGM)
pada acara Kuliah Umum di Fakultas Hukum UMY pada hari Selasa, 1 Mei 2007 (KR,
tgl 3 Mei 2007, hal 17) bahwa hukum adat masih sangat diperlukan. Hanya saja,
agar hukum adat tetap eksis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan
sistem hukum nasional maka sangat mendesak untuk segera dilaksanakan pengkajian
ulang terhadap konsep-konsep hukum adat. Rekonseptualisasi tersebut tidak hanya
terhadap pengertian hukum adat saja tetapi juga terhadap substansi/ isi serta
esensi hukum adat.
Budaya
hukum adat berisi faktor-faktor penentu untuk memperoleh kedudukan/ tempat dan
dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat Indonesia. Sedangkan fungsi
budaya hukum adat yaitu memberikan masukan dan keluaran proses pembuatan sistem
hukum Indonesia. Karakteristik fungsional budaya hukum adat adalah
gagasan-gagasan yang dominan, kecenderungan dan gayanya yang bersifat
menentang, melemahkan atau memperkuat sistem hukum Indonesia. Pada mulanya
budaya hukum di Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law)
atau budaya hukum adat. Namun dalam perkembangannya, sebagai akibat
penjajahan Belanda, budaya hukum adat berubah menjadi budaya hukum tertulis.
Disatu sisi, dominasi hukum tertulis memberikan kepastian hukum dalam
menyelesaikan perkara. Namun di lain sisi, terjebak pada sifatnya yang kaku
sehingga sulit menjalankan fungsinya dalam memberikan jaminan keadilan kepada
masyarakat.
Peran hukum
adat sebagai wujud budaya hukum Indonesia perlu dioptimalkan sejalan dengan
semangat pelaksanaan reformasi. Hal ini telah ditegaskan oleh Pasal 18 B ayat
(2) UUD NRI tahun 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Oleh
karena itu, sangatlah mendesak dan perlu segera dilaksanakan rekonseptualisasi
hukum adat guna memberikan makna dan semangat baru seperti yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Rekonseptualisasi
terhadap hukum adat bermanfaat ganda karena akan berdampak positif bagi
eksistensi dan perkembangan hukum adat di masyarakat dan juga berdampak positif
bagi pembangunan citra hukum adat dalam dunia ilmu hukum. Rekonseptualisasi
hukum adat dapat diartikan sebagai upaya pemberian makna dan semangat baru
terhadap hukum adat terkait dengan kontroversi dalam masyarakat bahwa hukum
adat dewasa ini sedang mengalami krisis yang berkonotasi bahwa hukum adat stagnant
(mandeg) bahkan mundur.
Berdasarkan
penelusuran pustaka dan penelitian, pengertian hukum adat bergeser yaitu
sebagai hukum yang dibuat oleh dan untuk rakyat (folk law) sebagai lawan
dari hukum negara (state law), bentuknya tidak tertulis, ditaati secara
sukarela dan dijalankan (ditegakkan) oleh masyarakat tanpa ada paksaan dari
pemerintah. Sedangkan substansi dan esensi hukum adat dibedakan dalam
empat tataran: yaitu tataran nilai budaya, tataran norma-norma, tataran hukum
dan tataran aturan-aturan khusus. Pada tataran tertinggi dan pertama, hukum
adat sebagai nilai budaya memiliki ruang lingkup yang paling abstrak dan luas
karena berupa sekumpulan ide-ide/ gagasan yang paling tinggi nilainya yang
mengandung prinsip–prinsip pokok. Oleh karena kedudukan dan dan
sifatnya yang abstrak maka sering irrasional. Pada tataran kedua hukum adat
sebagai norma yang berisi asas-asas hukum (rechtsbeginselen) dan
berperan sebagai pedoman tingkah laku yang bersifat normatif. Hukum adat dalam
tataran ketiga yaitu sebagai hukum yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan
bermasyarakat (melarang atau memerintahkan) dan disertai sanksi bagi pelanggar.
Pada tataran keempat, hukum adat sebagai aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas
bidang kehidupan tertentu dalam kehidupan masyarakat, seperti bidang jual beli,
perkawinan, pewarisan dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar