PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering
diwarnai dengan masalah pertentangan hokum, Khususnya masalah harta bersama
atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami
istri yang menghadapi perceraian.
Perbincangan masalah gono gini sering menjadi hangat di masyarakat
dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian
public figure atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono
gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru
akan semakin rumit dan berkelit-kelit bahkan sering memanas dalam siding-sidang
perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono gini
atau harta bersama, atau apabila ada rekonvensi gono gini atau harta bersama
dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman
pelaksanaan tugas dan peradilan agama mewanti-wanti agar gugatan pembagian
harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian.
Gono gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan
suami istri secara bersama-sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Harta gono-gini dan perjanjian
perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap
perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah
harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat
terjadi perceraian
Ketentuan tentang gono gini, atau harta bersama sudah jelas dalam
hokum positif yang berlaku di Indonesia bahwa harta yang boleh dibagi secara
bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai hanya terbatas pada harta
gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Didalam hokum positif yang berlaku di Indonesia, gono gini atau
harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta
gono-gini diakui secara hokum, baik secara pengurusan, Penggunaan, dan
pembagiannya. Ketentuan tentang gono-gini juga diatur dalam hokum islam
meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan
suami istri, namun ternyata setelah dicermati, dan dianalisis yang tidak bisa
dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan
yang berlaku dalam hokum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan
harta perolehan) harus terpisah dari harta gono gini itu sendiri.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, harta gono-gini atau harta bersama
diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka
diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta gono gini atau harta
bersama adalah harta yang dihasilkan dalam jalur syirkah (kongsi) antara suami
dan istri sehingga terjadi percampuran harta antara yang satu dengan yang
lainnya dan tidak dapat dibedakan lagi.
Para ahli hokum islam berbeda pendapat tentang dasar hokum harta
gono gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa islam tidak
mengatur tentang gono gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya
kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hokum islam yang lain
mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin jika islam tidak
mengatur tentang harta gono gini atau harta bersama sedangkan hal-hal lain-lain
yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama islam dan ditentukan dasar
hukumnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia?
2.
Bagaimanakah harta gono-gini ditinjau dari hokum islam?
3.
Bagaimanakah penyelesaian yang dapat ditempuh dalam Pembagian harta
gono-gini atau harta bersama?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui dasar-dasar hokum ketentuan harta gono-gini dalam
hokum positif di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui perspektif hokum islam dalam menyikapi masalah
harta gono-gini.
3.
Untuk mengetahui cara pembagian harta gono-gini atau harta bersama.
PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
Istilah “gono-gini” merupakan sebuah
istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330),
istilah yang digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta
yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua
suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa
Indonesia, pengertian harta gono-gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami
istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang
digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di
tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI),
adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan
dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi
bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang
diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja
untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air
sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian
harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt
yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini
diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di
Minangkabau masih dinamakan harta suarang;
di Sunda digunakan istilah guna-kaya;
di Bali disebut dengan druwe gabro;
dan di Kalimantan digunakan istilah barang
perpantangan[1]
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan
dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam
perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.
B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI
Pada dasarnya, tidak ada percampuran
harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini)
.Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi
yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan
hukum positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran harta kekayaan (harta
gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam
perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri
melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan lain,seperti
berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat
1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta
bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan
bahwa “sejak saat dilangsungkan
perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami
istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan
itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI
mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali
dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada
percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”[2]
C. HARTA GONO-GINI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak
ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam). Masalah harta gono gini atau harta
bersama merupakan persoalan hokum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir
al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono
gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh
islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah
dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh
klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Secara umum, hokum islam tidak melihat adanya gono
gini. Hokum islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suani dan
istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula
sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hokum islam
tentang gono gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad
Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’
mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab
yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal
adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hokum
perkawinan 1 menyatakan, bahwa hokum islam mengatur system terpisahnya harta
suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan
dalam perjanjian perkawinan). Hokum islam memberikan kelonggaran kepada
pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya
akan mengikat secara hokum.[3]
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hokum perkawinan
islam menyatakan, hokum islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami
atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa
diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan
sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya
campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian
harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik
masing-masing pasangan suami istri.[4]
Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas
tentang harta gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau
harta bawaan. Namun demikian ketentuan islam yang memisahkan harta kekayaan
suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi
proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta
gono gini tidak disinggung secara jelas dan
tegas dalam hokum islam. Dengan
kata lain, masalah harta gono-gini merupakan wilayah hokum yang belum terpikirkan
(ghoiru al mufakkar fih) dalam hokum islam, sehingga oleh karena itu,
terbuka bagi ahli hokum islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam ajaran islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan
berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah
harta gono-gini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil
ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang diperoleh
dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini.
D. GONO-GINI
SEBAGAI SYIRKAH
Kajian
ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini
termasuk dapat di-qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah
pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih
terhadap sesuatu.[5]
Harta
gono-gini dapat di-qiyaskan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri
juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja
dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri
seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestic
lainnya.
Harta
gono-gini didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama
perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah
atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena
penkongsian suami istri dalam gono-gini itu bersifat tidak terbatas, apa saja
yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta
gono-gini. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta
gono-gini disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari
suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup
keluarganya.
Dalam
fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari
syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak
antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak.
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini merupakan bentuk
syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara
suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang
bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam gono-gini
merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah
keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam
perkawinan.
E. PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA
Dalam
Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan
bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian,
maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959
yang mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka
masing-masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta
bersama mereka.
Apabila
pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta
bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa
ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara
ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian.
Dengan
demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan
agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh
saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil
dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure
keterpaksaan.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Harta gono-gini merupakan harta yang dihasilkan
oleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan.
2. Dasar hokum harta gono-gini dalam hokum
positif Indonesi adalah
-
UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta
gono-gini adalah “harta bersama yang
diperoleh selama masa perkawinan”.
-
KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka
menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh
tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
-
KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing
suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam
perkawinan (gono-gini).
-
KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran
harta antara suami dan istri karena perkawinan
3. Harta gono-gini merupakan syirkah abdaan atau
syirkah mufaawadlah, karena sebagian besar pasangan suami istri di Indonesia
bekerja untuk mencari nafkah dank arena sifatnya yang tidak terbatas.
4. Syirkah dalam harta gono-gini dipahami
sebagai bentuk kerjasama antara suami dan istri dalam membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
5. Berdasarkan pasal 37 UU no 1 tahun 1974 dan pasal 96 dan 97 KHI cara pembagian harta
gono-gini adalah masing-masing mendapatkan separoh dari harta kekayaan bersama.
6. pembagian harta gono-gini juga dapat ditempuh
melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian
melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi
lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan
tanpa adanya unsure keterpaksaan
DAFTAR PUSTAKA
·
Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama,
Jakarta, Bulan Bintang, 1965
·
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1,
Yogyakarta, Academica dan Tazzafa, 2005
·
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam,
Yogyakarta, UII Press, 2004
·
Undang-undang
RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Citra Umbara, bandung, 2010
·
http///:
google.com
[1]
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang,
Jakarta, 1965 hal 18
[2]
Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
[3]
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, Academia dan TAZZAFA,
Yogyakarta, 2005 hal 192
[4]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2004
Makasih penjelasan tentang hukum pembagian harta gono gininya....
BalasHapusArtikel yang bagus
BalasHapusBismillah...
BalasHapusTerimakasih penjelasannya.
Mohon ijin kopas
Apabila setelah perceraian ternyata sebelum pembagian harta gono gini salah seorang meninggal bagaimana pembagian harta gono gininya pak/ibu
BalasHapusJika harta suami istri yang bercerai adalah 1000.000 misalnya..dan harus di bagi 2.. dan mereka ada anak yang masih di bawah umur...tentu si bapak ini masih di tuntut atas nafkah buat anak-anak nya bukan...dengan harta si bapak yang 500...sementara si istri dengan uang bagian dia yang 500 tidak terkena kewajiban apa pun setelah perceraian mereka...malah yang terjadi tak berapa lama setelah perceraian...dia menikah lagi dengan pria lain...itu artinya uang bagian si istri ini awet....saya berpikir bahwa unsur keadilannya tak terpenuhi jika kasus nya seperti ini...
BalasHapus