Minggu, 13 Januari 2013

HARTA BERSAMA (GONO-GINI) Hukum Perdata


PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan masalah pertentangan hokum, Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang menghadapi perceraian.
Perbincangan masalah gono gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian public figure atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berkelit-kelit bahkan sering memanas dalam siding-sidang perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono gini atau harta bersama, atau apabila ada rekonvensi gono gini atau harta bersama dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan peradilan agama mewanti-wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. 
   Gono gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian
Ketentuan tentang gono gini, atau harta bersama sudah jelas dalam hokum positif yang berlaku di Indonesia bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Didalam hokum positif yang berlaku di Indonesia, gono gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta gono-gini diakui secara hokum, baik secara pengurusan, Penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang gono-gini juga diatur dalam hokum islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati, dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hokum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta perolehan) harus terpisah dari harta gono gini itu sendiri.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, harta gono-gini atau harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta gono gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dalam jalur syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dibedakan lagi.
Para ahli hokum islam berbeda pendapat tentang dasar hokum harta gono gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa islam tidak mengatur tentang gono gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hokum islam yang lain mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin jika islam tidak mengatur tentang harta gono gini atau harta bersama sedangkan hal-hal lain-lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama islam dan ditentukan dasar hukumnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia?
2.      Bagaimanakah harta gono-gini ditinjau dari hokum islam?
3.      Bagaimanakah penyelesaian yang dapat ditempuh dalam Pembagian harta gono-gini atau harta bersama?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui dasar-dasar hokum ketentuan harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui perspektif hokum islam dalam menyikapi masalah harta gono-gini.
3.      Untuk mengetahui cara pembagian harta gono-gini atau harta bersama.




PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
         Istilah “gono-gini” merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
         Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
         Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
         Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
         Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan[1]
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.

B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI
         Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:
         1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
         2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.” 
         3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
         4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta  antara  suami dan istri karena perkawinan.”[2]
        
C. HARTA GONO-GINI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
         Konsep harta gono gini  beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam). Masalah harta gono gini atau harta bersama merupakan persoalan hokum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Secara umum, hokum islam tidak melihat adanya gono gini. Hokum islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suani dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hokum islam tentang gono gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hokum perkawinan 1 menyatakan, bahwa hokum islam mengatur system terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hokum islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hokum.[3]
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hokum perkawinan islam menyatakan, hokum islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.[4]
Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas tentang harta gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau harta bawaan. Namun demikian ketentuan islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan  tegas  dalam hokum islam. Dengan kata lain, masalah harta gono-gini merupakan wilayah hokum yang belum terpikirkan (ghoiru al mufakkar fih) dalam hokum islam, sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hokum islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam ajaran islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono-gini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini.
D.    GONO-GINI SEBAGAI SYIRKAH
         Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini termasuk dapat di-qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.[5]
         Harta gono-gini dapat di-qiyaskan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestic lainnya.
         Harta gono-gini didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.
         Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
         Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini merupakan bentuk syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam gono-gini merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
        
E.  PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
         Dalam Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974  tentang perkawinan dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka.
         Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian.
         Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.
















KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.   Harta gono-gini merupakan harta yang dihasilkan oleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan.
2.   Dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif Indonesi adalah
-          UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”.
-          KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
-           KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
-          KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta  antara  suami dan istri karena perkawinan
3.  Harta gono-gini merupakan syirkah abdaan atau syirkah mufaawadlah, karena sebagian besar pasangan suami istri di Indonesia bekerja untuk mencari nafkah dank arena sifatnya yang tidak terbatas.
4.  Syirkah dalam harta gono-gini dipahami sebagai bentuk kerjasama antara suami dan istri dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
5.  Berdasarkan pasal 37 UU no 1 tahun 1974  dan pasal 96 dan 97 KHI cara pembagian harta gono-gini adalah masing-masing mendapatkan separoh dari harta kekayaan bersama.
6.  pembagian harta gono-gini juga dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan


DAFTAR PUSTAKA
·         Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama, Jakarta, Bulan Bintang, 1965
·         Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta, Academica dan Tazzafa, 2005
·         Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2004
·         Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
·         http///: google.com


[1] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965 hal 18
[2] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
[3] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, Academia dan TAZZAFA, Yogyakarta, 2005 hal 192
[4] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2004
[5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, hal 38

5 komentar:

  1. Makasih penjelasan tentang hukum pembagian harta gono gininya....

    BalasHapus
  2. Bismillah...
    Terimakasih penjelasannya.
    Mohon ijin kopas

    BalasHapus
  3. Apabila setelah perceraian ternyata sebelum pembagian harta gono gini salah seorang meninggal bagaimana pembagian harta gono gininya pak/ibu

    BalasHapus
  4. Jika harta suami istri yang bercerai adalah 1000.000 misalnya..dan harus di bagi 2.. dan mereka ada anak yang masih di bawah umur...tentu si bapak ini masih di tuntut atas nafkah buat anak-anak nya bukan...dengan harta si bapak yang 500...sementara si istri dengan uang bagian dia yang 500 tidak terkena kewajiban apa pun setelah perceraian mereka...malah yang terjadi tak berapa lama setelah perceraian...dia menikah lagi dengan pria lain...itu artinya uang bagian si istri ini awet....saya berpikir bahwa unsur keadilannya tak terpenuhi jika kasus nya seperti ini...

    BalasHapus