A. PENDAHULUAN
Manusia pada hakikatnya ingin hidup dengan
damai dan berada dalam keteraturan, maka untuk mewujudkan keinginan tersebut
terbentuklah suatu kesepakatan diantara suatu golongan masyarakat untuk
membentuk sebuah peraturan yang mengikat kepada seluruh elemen masyarakat,
peraturan-peraturan inilah yang kemudian kita sebut dengan hukum.
Pengertian
hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Marcus Tullius Cicero (106-43
SM), ahli hukum terbesar bangsa Romawi,
pernah mengatakan, di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas,
ibi ius). Biasanya ada beberapa orang yang dipercaya oleh masyarakat
tersebut untuk membuat dan menetapkan kebijakan hukum yang akan diberlakukan di
daerah masyarakat tersebut, orang-orang yang diberi kewenangan untuk menentukan
kebijakan tersebut merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap lingkungan
masyarakatnya. Selanjutnya, pengertian hukum pun tidak dapat dipisahkan dengan
negara dalam arti luas (masyarakat bernegara).
Berbicara
tentang negara, kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum pun
erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Seperti dinyatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja (1970:5), hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dalam penentuan hukum itu sendiri tidak
terlepas dari kekuasaan dan kewenangan dari pembuat kebijakan tersebut. Hukum
memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri
ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Di sini kita melihat betapa erat hubungan
antara hukum, negara, dan kekuasaan itu.
Walaupun
terdapat hubungan yang erat, tidak berarti negara berdasarkan atas hukum
identik dengan negara berdasarkan atas kekuasaan. Seperti dinyatakan dalam
penjelasan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara kita adalah negara hukum
(rechtsstaat). Bukan negara kekuasaan (machtssaat). Dengan
demikian, hukum mempunyai kedudukan yang tinggi dalam negara.[1]
Hukum
harus menghasilkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Apabila hukum dan
kekuasaan yang dijalankan tidak mewujudkan ketiga tujuan vital di atas, maka
pelaksanaan hukum dan kekuasaan tersebut hanyalah semu, mementingkan
kepentingan individu atau segolongan pemimpin saja.
Lalu
dalam kajiannya hal yang perlu dipertanyakan adalah mengapa hukum dipengaruhi oleh kekuasaan. Mengapa hukum
dapat dijadikan sebagai alat melanggengkan kekuasaan (bagi pemegang kekuasaan
yang jahat). Selanjutnya bagaimanakah hubungan hukum dengan kekuasaan.
Permasalahan-permaslahn tersebut akan dikaji lebih lanjut dalam pembahasan
selanjutnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa
hukum dipengaruhi oleh kekuasaan dan sebaliknya?
2. Mengapa
hukum bisa digunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan, sedangkan itu bertolak
belakang dengan cita hukum yang ada?
3. Bagaimanakah
hubungan hukum dengan kekuasaan?
C. PEMBAHASAN
1. Hukum dipengaruhi oleh kekuasaan dan kekuasaan
dipengaruhi oleh hukum
·
Hukum dalam Mempengaruhi Kekuasaan
Kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan
mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada
yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum berperan dalam membentuk
rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal
tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi
tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan dan
mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur kekuasaan berada
dalam lingkup formil.
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan
untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari
kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain sebagai kepentingan
masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna sebagai aturan
bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Aturan tersebut
berguna sebagai cara main yang fair yang bisa mngkoordinir semua pihak
yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur
masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan[2]
·
Kekuasaan dalam Mempengaruhi Hukum
Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan
yang melatarbelakanginya membuat hukum menjadi mandul. Oleh karena itu perlunya
suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana
kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk
mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual bukan empiris
karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk melegalkan
kepentingan penguasa saja.
Secara konseptual, kekuasaan yang
dimiliki oleh sebagain pihak berangkat dari rasa tidak nyaman masyarakat
terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan kestabilan masyarakat.
Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal ataupun sosialis.
Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada sekelompok orang
untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka agar tetap
tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat dari penguasa
itulah terletak hukum.
Dalam perkembangannya tentu saja tidak
dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu.
Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum yang menjadi
produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan
karaktersitik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya
demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan apabila
kekuasaanya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau
ortodoks.
Namun ada asumsi bahwa antara demokrasi
dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa
saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik
produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melingungi masyarakat.
Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami
pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati
hasil atau kemanfaatannya.
2. Hukum bisa dijadikan alat melanggengkan kekuasaan ?
Dalampenerapannya,
hukummemerlukansuatukekuasaanuntukmendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakanantarahukum
di suatupihakdengannorma-normasosiallainnyadannorma agama. Kekuasaan itu diperlukan
olehkarenahukumbersifatmemaksa .Tanpaadanyakekuasaan, pelaksanaanhukum di
masyarakatakanmengalamihambatan-hambatan. Semakintertibdanteratursuatumasyarakat,
makinberkurangdiperlukandukungankekuasaan.
Hukumitusendirisebenarnyajugaadalahkekuasaan.Hukummerupakansalahsatusumberkekuasaan.Selainituhukum
pun merupakanpembatasbagikekuasaan, olehkarenakekuasaanitumempunyaisifat yang
buruk, yaituselalumerangsangpemegangnyauntukinginmemilikikekuasaan yang
melebihiapa yang dimilikinyadenganmengahalalkansegalacara. Contoh yang popular
misalnyasepakterjangpara raja absolute dan dictator.Ataubukanhanya raja
bahkanpresiden pun jikatidakdibatasidenganbaikbisaberbuatsemena-menadengankekuasaannya.Kekuasaandipandangsebagaipenjaminkeamanan,
kenyamanan,
kemakmurandansegalakemewahan.Karenanyakekuasaandicaridenganberbagaicara,
tanpapeduliapakahrasional, wajar, ataukahpenuhtipudaya. Pendek kata, demi
kekuasaansegalacaradihalalkan.
Dalamrealitaskehidupan, banyak orang
percayabahwakekuasaandapatdiperolehdenganmerekayasahukum. Contoh lain:
Misalketika investor inginmengembangkanusahapertambangan,
sementaraizinusahaberbelit-belit, maka investor segeramendatangipejabatsetempat
agar mengubahaturanperizinan.
Tawar-menawarberlangsung.Seberapabesarongkosmestidibayar,
secaratimbalbalikdiperhitungkandenganprospekkeuntungan yang akandidapat.
Kendalaizinpertambanganteratasidenganperubahanaturan
main.Aspeklegalitasmemberikankemudahan, kelancaranusahasekaliguskekuasaanuntukmembentengidiridarisiapa
pun yang mengganggunya.Kalauperadaban modern ditandaidenganpembatasankekuasaan
agar tidakdigunakansewenang-wenang,
danpembatasanitudilakukandenganrambu-rambuhukum,
ternyatadalamperkembangannyajustruberbalik,
yaituhukumdikendalikankekuasaan.Padakondisidemikian,
perlindunganhak-hakwarganegarasulitdijalankanefektifkarenatiranikekuasaanberlangsungatasnamahukum.
Relasiantarahukumdankekuasaanterjalinerat,
walaupuntidakmudahuntukmenyatakanmana yang lebihdominan.
Kinihukumdankekuasaanseringmelakukankontrolsecaratimbalbalik,
kendatikekuatannyaberbeda.Hukumnegaramemilikikualitaskekuatansebagai
'teknologidanmesin', bergeraktertib, teraturdanterukur,
sedangkankekuasaanmemilikikekuatantakterstruktur, tergantungmanusiapemegangnya(the
man behind the gun).
Agar
kekuasaantidakbenturandenganhukum,
makamanuverkekuasaanditempuhmelaluiberbagaicara.
Sihirdansuapmerupakancaralihai,
danlicikuntukmemerangkaphukummasukkedalamskemakekuasaan.
Ketikahukumdankekuasaantelahberimpitmelekat, kecenderungannyaberubahmenjadi
'tirani'.Demi hukumkekuasaandijalankandan demi kekuasaanhukumditegakkan.
Persoalannya,
kearahmanakiblathukumdankekuasaanitu?Benarbahwatidaksemuakekuasaanberwatakjahat,
cenderungkorupsepertidinyatakanLord
Acton.Ada kekuasaanberwatakmulia(benevolent).SatjiptoRahardjo (2003)
melukiskanciri-cirikekuasaan yang baik: (1)berwatakmengabdikepadakepentinganumum,
(2)melihatkepadalapisanmasyarakat
yang susah, (3)selalumemikirkankepentinganpublik,
(4)kosongdarikepentingansubjektif, (5)kekuasaan yang mengasihi.[3]
Secaraempiriskitasulitmenemukankekuasaanbaikitu.Kekuasaantelahdidominasipraktikpolitikkotor.Ketikahukumdipandangmenjadikendalakekuasaan,
makataksegan-seganhukumditaklukkan agar maumengabdikepadakekuasaan.penaklukanhukumitusemakinintensifdanmendapatkanwarnanya
yang khassejak era reformasibergulir.
Hukumnegarasebagaiprodukpolitiksemakinesoterikdanimun,
taktersentuhcampurtanganpublik.LogikaHans
Kelsenbahwahukumitumurnisebagaiaktivitasilmiah-akademis, netral, otonom,
sungguhsangat ideal; tetapihanyaberlaku di angan-angan.Realitasempirisbicara'tidakadahukumnegarakecualiprodukpolitik'. Politik hukum adalah suatu kebijaksanaan
untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan idologi yang berkuasa.[4]
“Baikburuknyakekuasaan, bergantungdaribagaimanakekuasaantersebutdipergunakan.Artinya,
baikburuknyakekuasaansenantiasaharusdiukurdengankegunaannyauntukmencapaisuatutujuan
yang sudahditentukanatausudahdisadariolehmasyarakatlebihdahulu.Hal inimerupakansuatuunsur
yang mutlakbagikehidupanmasyarakat yang
tertibdanbahkanbagisetiapbentukorganisasi yang teratur”.
Kesadaranhukum yang
tinggidanmasyarakatjugamerupakanpembatas yang
ampuhbagipemegangkekuasaan.takjarangpemimpin-pemimpin yang
dianggaprakyatsemena-menamenggunakankekuasaannyaharustundukpadaprotesrakyatataudengan
kata lain lengser.
Pelaksanaan hukum dan kekuasaan tak
boleh keluar dari konteks nilai-nilai sosial masyarakat dan prinsip jati diri
banga. Pengertian jati diri bangsa di sini adalah pandangan hidup yang
berkembang di dalam masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama, berisi konsep,
prinsip, dan nilai dasar yang diangkat menjadi dasar negara sebagai landasan
statis, ideologi nasional,dan sebagai landasan dinamis bagi bangsa yang
bersangkutan dalam menghadapi segala permasalahan menuju cita-citanya. Jati diri
bangsa Indonesia tiada lain adalah Pancasila yang besifat khusus, otentik, dan
orisinil yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain.[5]
Selain itu ditinjau dari segi Islami
mengingat kekuasaan kepemimpinan Islam hanyalah mewakili kekuasaan Allah, maka
kewajiban pemimpin Islam adalah menegakkan aturan hukum yang telahdiciptakan
oleh Allah (syariat) dalam, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tidak diperkenankan kepemimpinanan Islam melanggar ketentuan syariat, karena
syariat merupakan konsitusi negara yang harus dijalankan oleh seluruh umat
Islam.[6]
Jadi, bila hukum dan kekuasaan
dipergunakan untuk kepentingan penguasa sangat jauh menyimpang dari tujuan dan
cita hukum.
3. Hubungan hukum dan kekuasaan
Yang
dapat, memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah
penguasa, karena penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli
penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan
untuk memakasakan sanki terhadap pelanggaran kaedah hukum. Hakekat kekuasaan
tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang
lain
Hukum
ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuaaan yang sah pada dasarnya bukanlah
hukum. Jadi, hukum bersumber pada kekusaan yang sah.[7]
Di
dalam sejarah tidak jarang kita jumpai hukum yang tidak bersumber pada
kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang menurut hukum yang berlaku sesungguhnya
tidak berwenang. Revolusi misalnya merupakan kekuasaan yang tida sah (coup
de’etat) dan sering merupakan kekuasaan atau kekuasaan fisik. Kekuatan
hukum ini seringkali menghapus hukum yang lama dan menciptakan hukum yang baru.
Revolusi baru menciptakan hukum atau revolusi itu mendapat dukungan dari rakyat
dan berhasil. Kalau tidak berhasil maka revolusi tidak merupakan sumber
hukum.Dalam UU no. 19 tahun 1964 revolusi disebut sebagai sumber hukum. Jadi
hukum dapat pula bersumber pada kekuatan fisik , tetapi kekuatan fisik bukan
merupakan sumber hukum.
Sebaliknya
hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur,
mengusahakan ketertiban dan membatasi uang gerak individu.Tidak mungkin hukum
menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah
kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Walaupun
kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum.
Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan
tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right” , pencuri
berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak
atas barang itu. [8]Karena
barang yang didapat si pencuri tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Sekalipun
hukum itu kekuasaan, mempunyai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya dengan
sanksi, namun hendaknya dihindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan,
hukum bagi yang berkuasa. Karena ada bahkan banyak penguasa yang
menyalahgunakan hukum, menciptakan hukum itu semata-mata untuk kepentingan
penguasa itu sendiri atau yang sewenang-wenang mengabaikan hukum, maka
muncullah istilah “rule of law”.
Apakah
yang dimaksud dengan rule of law? Dari bunyi kata-katanya rule of law
berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang
memerintahkan atau berkuasa. Ini berarti supremasi hukum. Memang rule of law
biasanaya diartikan secara singkat sebagai “governance not by man but by
law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia,
hukum adalah untuk manusia, sehingga “governance not by man not by law”
tidak boleh diartikan bahwa manusiannya pasif sama sekali dan menjadi budak
hukum.[9]
Pada
hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lessalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verassungswessen,
“konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya
merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata
dalam suatu negara” Pendapat Lessale ini memandang konstitusi dari sudut
kekuasaan.
Dari
sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu
negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara dan
hubungan-hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian
aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan
deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan
antara lembaga-lembaga negara. Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl
Olivercona antara lain daripada ”kekuatan yang terorganisasi”, di mana
hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”.
Kekuasaan
dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk
mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan
merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai
tujuan negara.
Kekuasaan
dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak.
Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu
sama lain dan bersifat hirarkis. Kekuasaan tertinggi adalah kedaulatan, yaitu
kekuasaan negara secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam
wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang
harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah
hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tak
terkecuali.
[10]Kedaulatan
atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara;
dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat
bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Dalam
teori kenegaraan, ada empat bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan
Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit)
,kedaulatan hukum (rechtssouvereinteit), dan kedaulatan rakyat (volksouvereinteit)
.
Bentuk
kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari
bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid)
atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang
pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat
terlaksana dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, otoritas.
Adalah
ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara
dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan
yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga
berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi
berhak memberikan perintah.
Bentuk
ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond merumuskan hak sebagai
kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan yang hampir sama
dikemukakan oleh Allend yang menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu
kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan
kepentingannya (The legally guaranteed power to realise an interest) .
Sedangkan
menurut Holland hak itu sebagai kemampuan seeorang untuk mempengaruhi
perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya,
tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi.
Definisi
hak menurut Holmes adalah “nothing but permission to exercise
certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection,
restitution, or compensation by the aid of public force” . Hak dapat pula
diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk menuntut pemenuhan
kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik dengan sukarela
maupun dengan paksaan.
Pengakuan
hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban pada pihak
atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban
bersifat resiprokal atau timbal balik. Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam
konsep hubungan hukum (konsep subjektif).
D. KESIMPULAN
DalamtataranteoritisBahwa pengaruh
hukum dan kekuasaan adalah pengaruh timbal balik yang saling mengontrol dan
melengkapi. Karena kekuasaan yang tanpa hukum akan terjadi potensi kuat
terhadap kesewenang-wenangan sedangkan hukum tanpa kekuasaan menjadi tidak
memiliki kekuatan memaksa dalam menyelenggarakan dan mewujudkan keamanan,
ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan
bernegara, dengan kata lain apabila terjadi pertentangan maka energy hokum sering
kalah kuat dengan energy kekuasaan. Akibatnya model hokum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam kekuasaan yang bersifat
otoriter
akan
melahirkan
hukum yang bersifat
konservatif
dan
ortodok. Sebaliknya
dalam
kekuasaan yang demokratis
akan
melahirkan
hukum yang bersifat
responsive
dan
populis.
Yang
dapat dijadikancatatanadalah:
- Hukumbersifatimperatif,
tetapirealitasnyatidaksemuataat, sehinggamembutuhkandukungankekuasaan,
besarnyakekuasaantergantungpadatingkatkesadaranhukummasyarakat.
- Dalampraktek,
kekuasaanseringbersifatnegatif, yaituberbuatmelampauibatas-bataskekuasaan,
sehinggahukumdibutuhkansebagaipembataskekuasaan (selainkejujuran
,dedikasidankesadaranhukum).
- Betapaeratnyadanpentingnyarelasiantarahukumdankekuasaan,
hukumtanpakekuasaanadalahangan-angan, tetapikekuasaantanpahukumakandzalim.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmodiharjo ,Darji dan Sidharta.
1995.Pokok-pokok Filsafat Hukum.(Jakarta: PT. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA)
Mertokusumo ,Sudikno. 2007. MengenaL
Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty)
Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat hukum Dalam KonsepsiDan Analisa.
(Bandung: Penerbit Alumni)
Budiyanto. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan.(Jakarta:
Penerbit Erlangga)
Anam, Khoirul. 2011. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
Untuk Perguruan Tinggi. (Yogyakarta: Inti Media)
Salman Luthan, Jurnal Hukum : Hubungan Hukum dan Kekuasaan,
14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal.
174-175.
http://metro.sindonews.com/read/2012/09/26/18/674872/hukum-untuk-kekuasaan Rabu, 12 Desember 2012, pukul 17:33 WIB
http://samardi.wordpress.com/2011/11/01/hubungan-hukum-dan-kekuasaan/
Rabu, 12 Desember 2012: pukul 16:48 WIB
http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/02/hubungan-hukum-dengan-kekuasaan/
Rabu, 12 Desember 2012, pukul 18:05 WIB
[1]
Darji Darmodiharjo dan Sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum.
1995.(Jakarta: PT. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA) hal.188-189
[2]http://samardi.wordpress.com/2011/11/01/hubungan-hukum-dan-kekuasaan/
Rabu, 12 Desember 2012: pukul 16:48 WIB
[3]http://metro.sindonews.com/read/2012/09/26/18/674872/hukum-untuk-kekuasaan
Rabu, 12 Desember 2012, pukul 17:33 WIB
[4]DR.Soedjono
Dirdjosisworo. 1984. Filsafat Hukum dalam Konsep Dan Analisa. (Bandung:
Penerbit Alumni), hal 129
[5]Budiyanto.2002.
Pendidikan Kewarganegaraan.(Jakarta:
Penerbit Erlangga), hal.17
[6]Khoirul
Anam. 2011. Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Inti Media), hal 109
[8]Salman Luthan, Jurnal Hukum :
Hubungan Hukum dan Kekuasaan, 14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, Hal. 174-175.
[9]Sudikno
Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. 2007. (Yogyakarta: Liberty).hal.20-21
[10]http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/02/hubungan-hukum-dengan-kekuasaan/
Rabu, 12 Desember 2012, pukul 18:05 WIB