MAKALAH
Tafsir Ayat Hukum
Tentang :
Cara Hakim Mengambil Keputusan
Disusun Oleh :
Muhammad
Zakaria 11340074
Dosen
Pembimbing :
Mansur, S. Ag. M. Ag
JURUSAN
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011 M/1433 H
Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
Bab I
Pembahasan
A.
Qs. An Nisa 7
1.
Asbab An
Nuzul...............................................................................................2
2.
Menurut para
Mufasir.......................................................................................6
3.
Kesimpulan.......................................................................................................9
B.
Qs. Ali Imran 107
1.
Asbab An
Nuzul.............................................................................................10
2.
Menurut para
Mufasir.....................................................................................11
3.
Kesimpulan
....................................................................................................13
C.
Qs. Yusuf 52
1.
Asbab An
Nuzul............................................................................................14
2.
Menurut para
Mufasir....................................................................................14
3.
Kesimpulan....................................................................................................15
Bab II
Kesimpulan
A.
Kesimpulan..........................................................................................................16
B.
Penutup................................................................................................................16
Daftar Pustaka
..............................................................................................................................................................
Bab I
Pembahasan
- QS. An-Nur
7
t èp|¡ÏJ»sø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ
7. dan (sumpah)
yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang
berdusta[1030].QS. An Nur 7.
Maksud
ayat 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat
orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah
benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan
kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan
Li'an.[1]
- Asbab an Nuzul :
Berkenaan Hilal ‘ibn Umayyah
yang menuduh dihadapan Nabi SAW. Bahwa istrinya. Dan nabi meminta empat orang
saksi atas yang ia sampaikan/dicambuk. Dan ia mempertanyakan bahwa tidak
mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami.[3]
Dari ibn Abbas
bahwa ‘Asim bin ‘adi Al-Ansari berkata”jika salah seorang suami di
antara kita memasuki rumahnya dan
mendapati seorang lelaki berada diatas perut istrinya, lalu dia mendatangkan
empat saksi laki-laki yang menyaksikan kejadian itu.[4]
Sebab turunnya ayat ini
adalah suatu riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Abbas:
"Tatkala diturunkan Tuhan ayat:
"Dan orang yang menuduh perempuan baik-baik." (ayat 4). Berkatalah
`Ashim bin Adi dari sahabat Anshar: ia masuk ke
dalam rumahnya, didapatinya seorang laki-laki sedang di atas perut isterinya.
Kalau dia terlebih dahulu pergi mencari empat orang saksi orang itu telah
selesai melepaskan nafsunya sebelum dia kembali, dan orang itu telah pergi,
sedang kalau dibunuhnya, dia mesti dihukum bunuh pula.
Kalau dia berkata bahwa dia
mendapati isterinya seketiduran dengan si fulan, dia mesti dihukum dera 80 kali
karena tidak ada empat saksi. Kalau dia diamkan saja, terpendamlah kemarahan
dalam hatinya menjadi dendam. Bagaimana yang baik? "Ya Tuhan, bukakanlah
jalan."
Kata Ibnu Abbas selanjutnya:
"Si `Ashim itu kebetulan
mempunyai seorang anak saudara laki-laki 'Uwainir namanya, dan 'Uwainir in telah kawin
dengan seorang perempuan bemama Khaulah binti Qais. Pada suatu hari si 'Uwainir
ini datang kepada `Ashim clan berkata: "Saya telah melihat Syuraik bin
Samhaak di atas perut isteri saya Khaulah." Terkejut `Ashim mendengar
berita itu sambil mengucapkan "Inna Lillahi wo Inna llaihi Raji'un".
Lalu dia segera menghadap Rasulullah s.a.w. disampaikannyalah kepada beliau
berita itu: "Ya Utusan Allah, dengan cepat keadaan yang anda katakan itu
telah terjadi dalam keluargaku sendiri." Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Apakah yang telah kejadian?" `Ashim menjawab: "Kemenakanku 'Uwainir
mengatakan kepadaku bahwa dia melihat sendiri dengan mata kepalanya Syuraik bin
Samhaak tidur di atas perut isterinya Khaulah." Padahal baik 'Uwainir,
ataupun Khaulah atau Syuraik itu sendiri adalah dari keluarga anak saudaranya
`Ashim belaka.
Rasulullah
s.a.w. memanggil sekalian orang yang bersangkutan, dan setelah hadir semua,
berkatalah beliau kepada `Uwainir: "Takwalah kepada Allah dari hal
isterimu clan anak saudaramu, janganlah engkau menuduh isterimu itu."
Menjawablah si 'Uwainir, "Ya Rasulullah, saya bersumpah Demi Allah, saya
lihat sendiri si Syuraik di atas perut isteriku, sehingga lantaran itu sudah
empat bulan saya tidak mendekatinya lagi, karena dia telah hamil dari
perhubungannya dengan orang lain."
Maka berkata pulalah Rasulullah s.a.w.:
"Takwalah engkau kepada Allah dan katakan terus-terang apa yang telah kau
perbuat!"
Si perempuan itu menjawab: "Ya
Rasulullah! Si 'Uwainir ini sangat pencemburu. Dilihatnya si Syuraik memandang
lama kepada wajahku, dan bercakap-cakap kepada saya, lalu timbul
cemburunya."
Tidaklah dapat diambil keputusan.
Kalau diturutkan bunyi Wahyu di ayat empat, tidaklah dapat dijalankan, karena
yang menuduh ini adalah suaminya sendiri. Si suami betapa pun juga, tidaklah
akan dapat dipaksa mengakui anak yang dalam kandungan itu sebagai anaknya,
padahal sudah empat bulan dia tidak mencampuri isterinya itu, yaitu sejak
timbul keraguan di hatinya. Oleh sebab itu maka soal ini adalah soal baru, yang
tidak serupa lagi dengan masalah Qazaf (menuduh perempuan muhshanat). Nabi
s.a.w. pun belum dapat mengambil tindakan, sebelum ada ketentuan Wahyu Ilahi. Maka turunlah ayat yang sedang kita perbincangkan ini.
"Tiba-tiba turunlah ayat-ayat
ini: Maka Rasulullah s.a.w. pun menyuruh pada sahabat berkumpul buat sembahyang
"Ash-Shalatu Jami'atun". Maka berkumpullah orang untuk
mengerjakan sembahyang `Ashar. Sehabis sembahyang, berkatalah Nabi kepada si
'Uwainir (yang menuduh isterinya itu):
"Berdirilah engkau dan
ucapkanlah: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa si Khaulah (isteriku) telah
berzina, dan tuduhanku ini adalah benar." Si 'Uwainir mengulangi perkataan
itu dengan tegas.
Nabi berkata pula: "Katakanlah olehmu:
Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa saya melihat sendiri si Syuraik telah
tidur di atas perutnya, dan saya adalah berkata benar." Ucapan itu pun
dikatakan dengan tegas oleh 'Uwainir.
Lalu Nabi berkata pula: "Katakan:
Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa dia hamil dari laki-laki lain, bukan dari saya. Dan saya adalah di pihak yang
benar." Perkataan itu diulang oleh 'Uwainir dengan tegas.
Nabi melanjutkan pula: "Katakanlah:
Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa dia telah berzina, clan saya telah tidak
mendekatinya sejak 4 bulan, clan saya adalah berkata benar." Itu pun
diturutinya sejelas-jelasnya.
Kemudian itu Nabi berkata: "Katakan:
Kutuk laknat Allah akan jatuh ke atas diri 'Uwainir (dirinya sendiri), kalau
dia berkata dusta."
Setelah selesai dia mengatakan
perkataan yang diajarkan Nabi itu, satu demi satu, Nabi pun bersabda:
"Sekarang duduklah!" Si
'Uwainir pun duduk.
"Sekarang, engkau pula
berdiri!" ujar Nabi s.a.w. kepada Khaulah.
Lalu dia pun berdiri dan
diajarkan Nabi pula kepadanya ucapan-ucapan yang pertama:
Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa
saya tidaklah berzina, clan suami saya tidak pernah melihat si Syuraik tidur di
atas perut saya. Percakapan suami saya itu adalah dusta." Memang 'Uwainir
adalah bercakap dusta!"
Ucapan yang
kedua: "Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa dia tidak pemah melihat si
Syuraik tidur di atas perut saya."
Ucapan
ketiga: "Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya hamil ini adalah dari suami saya sendiri. Tuduhannya itu adalah dusta."
Ucapan
keempat: "Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa suami saya tidaklah pemah
melihat saya berbuat jahat. Segala tuduhannya itu adalah dusta."
Ucapan
kelima ialah: "Kemurkaan Allah biarlah menimpa Khaulah (dirinya sendiri),
kalau tuduhan 'Uwainir itu benar."
Berkata Ibnu
Abbas selanjutnya: "Setelah mendengar kedua keterangan itu, maka
Rasulullah s.a.w. memutuskan memfarak (memisahkan) di antara keduanya." [5]
- Penafsiran menurut beberapa ulama :
Li’an asal artinya kutukan atau menjauhkan
Menurut istilah seorang
suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan
istrinya sebagai anaknya, sedangkan ia tidak memilii saksi atas tuduhannya dan
istri tidak mengakui perbuatannya, maka suami-istri tersebut harus bersumpah.[6]
(Dan sumpah yang kelima, bahwa
laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta) dalam hal ini yang menjadi Khabar
dari Mubtada pada ayat yang sebelumnya tadi ialah, Untuk menolak hukuman hudud
menuduh berzina yang akan ditimpakan atas dirinya [7]
Menurut buya Hamka di dalam tafsir
Al azhar ia menyatakan bahwa ayat 7 ini berkaitan ayat 6-10, karena pada ayat
6-10 membahas tentang hukum li’an.
Kalau seorang laki-laki mengetahui istrinya berbuat zina, dan dia
mengadukan halnya itu kepada hakim, padahal saksi-saksi tidak ada, dia sendiri
boleh mengemukakan empat kali kesaksian.
Susunan kata tuduhan itu demikian bunyinya :
“Dengan ini saya si fulan anak si fulan menuduh istri saya
nama si anu telah berbuat zina dengan si anu. Atas nama Allah
saya bersumpah bahwa keterangan yang saya berikan ini adalah benar.” Perkataan
ini diulangnya emapat kali.
Sebagai ucapan yang kelima disambungkan lagi : “laknat dan kutuk tuhan Allah biarlah menimpa duiri saya
sendiri jika keterangan saya itu dusta.”
Pada saat itu si perempuan tidaklah langsung dirajam atau didera, tetapi
dia diberi kesempatan pula untuk membela dirinya, yaitu apabila ia menangkis
serangan itu dengan kata-kata seumpama : “saya naik saksi pula di hadapan
Allah, bahwasnya suami sya itu adalah berkata dusta,” dijelaskannya perkataan
itu empat kali.
Dan kelima, sebagai penutup kata hendaklah diiringinya : “dan biarlah
kemurkaan Allah menimpa atas diri saya jika suami saya itu berkata benar.”
Hal seperti ini bias kejadian. Sekiranya perempuan itu hamil, sedangkan
suami nya merasa ragu-ragu, bahkan merasa tidak yakin bahwa anak yang di dalam
kandungan istrinya itu adalah anaknya.
Sedangkan anak itu lah yang akan menerima warisan pasaknya jika
dia(suami)meninggal duia, sedangkan saksi yang menyaksikannya tidak smapai
emapat, tidak ada, maka itu amat lah berat bagi seorang laki itu.
Dia(suami)dilarang menuduh istrinya berzina jika tidak ada empat orang saksi, sedang dia pun bebas untuk tidak mengakui
anak yang ada dalam kandungan itu. Padahal ini adalah soal keturunan,soal
darah. Seorang ayah berhak untuk menyakini bahwa anak yang dalam kandungan itu
adalah sah anknya sendiri. Tetapi perempuan juga berhak juga mempertahankan
dirinya, jika hanya tuduhan, meskipun telah dituduhkan sampai empat kali dan telah
dikeluarkan pula dengan kesediaan menerima kutuk laknat Allah jika dia
berdusta. Derajat kesaksian demikian tidaklah sama dengan empat orang saksi
yang menyaksikan dengan jelas. Karena sekuat apapun seseorang bersumpah jika
ada saksi berempat maka sumpah itu tidak berlaku lagi. Sumpah itu sama dengan sumpah
palsu(cukup alat bukti). Oleh sebba itu maka si perempuan boleh
mempertahankan diri dan menolak pula dengan sumpah bahwa dia bersedia pula
menerima murka dan kutuk laknat Allah jika apa yang dituduh suaminya itu benar
adanya. kalau apa
yang dituduhkan suaminya itu benar adanya.
Seketika itu hakim hendaklah mengambil keputusan yang tepat. Jika
suami-istri ini wajib dipisahkan, tegasnya bercerai atas kehendak hakim. Jika
anak itu lahir kelak, tidaklah boleh dia disebut anak dari suam yang menuduh
itu, dan segala kewajiban suami terhadap istri putuslah sejak itu.
Kalau selama ini si perempuan
tinggal di rumah yang disediakan suaminya, mulai hakim melancarkan
keputusannya, perempuan itu tidak dalam tanggungan bekas suaminya lagi.
Tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya, tidaklah dapat lagi dijangkau oleh
hukum yang diatur manusia, sebab sudah terserah kepada Ilmu Allah Ta'ala.[8]
Menurut
imam Fakhrur Razi “sebenarnya diberlakukannya li’an bagi kasus suami terhadap
istrinya sendiri dan tidak dibelakunya pada perempuan-perempuan lain adalah
karena dua hal, yaitu :
1. Sesungguhnya
tidak ada cela yang akan melekat kepada seorang laki-laki yang disebabkan oleh
perbuatan zina yang dilakukan perempuan lain yang sedang memergoki kasus
seperti ini yang lebih baik adalah menutupinya(menyiarkan/mengadukannya),
adapun perbuatan yang dilakukan oleh istri sendiri akan melekatkan cela kepada
suami dan merusak keturunan dan hal ini tidak mungkin membuat suami sabar.
2.
Pada lazimnya seorang suami tidak akan sengaja dengan
semata-mata ingin menuduh istrinya kecuali benar adanya(ada bukti). Sebenarnya
seorang suami menuduh istri berzina
sebenarnya tuduhan itu merupakan suatu kesaksian yang dapat dibenarkan,
hanya saja semata-mata tuduhan belum dipandang memadai(cukup)sehingga di
butuhkan sumpah[9]
Apakah li’an itu sumpah atau
kesaksian?
Ahli fiqh berbeda pendapat
tentang, apakah li’an itu sumpah atau kesaksiaan. Dala hal iini ada dua
pendapat , yaitu :
1.
Abu hanifah berpendapat bahwa li’an itu kesaksian
sehingga harus diberlakukan ketentuan-ketentuan tentang persaksian
Dalilnya :
äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/
Mereka berkata : orang yang melaknat berkata dalam li’annya :
Asyhadubillah = aku bersaksi dengan nama Allah. Dan ini menunjukkan bahwa itu
kesaksiaan, bukan sumpah
2.
Jumhur (malik,syafi’I dan Ahmad) berpendapat bahwa
li’an itu sumpah dan bukan kesaksiaan sehingga harus diberlakukan
ketentuan-ketentuan sumpah.
Dalilnya :
sßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/
Empat kali saksi dengan nama
Allah, yang dimaksudkan adalah “bilangan”itu adalah sumpah :kesaksiaan
seseorang atas dirinya tidak bias diterima kecuali kalau bersumpah.
C.
Kesimpulan
Dari
pembahasan Qs. An Nur ayat 7 ini, dapat kita ambil dalam kontek kita sebagai
seorang hakim yakni cara kita memutuskan suatu perkara itu melalui sumpah. Di
dalam ini di yang menjadi suatu contoh adalah ketika seseorang melihat kekejian
yang terjadi pada keluarga yg tetapi ia tidak memiliki bukti. Maka ia harus
bersumpah untuk lebih menyakinkan. Di dalam hukum positif nya kita dapat meliht
KUH Perda Bab VI. Pada ayat ini menerangkan tentang pengambilan sumpah terhadap
pengadu. Sedangkan pada ayat Qs. An Nur 9, menjelaskan tentang pembela terhadap
pengaduan terhadapnya seadainya tidak benar(hanya fiktif) yang di katakan
pengadu/pendakwa.
..................................................................................................................................................................
QS. AL Maidah 107
÷bÎ*sù uÏYãã #n?tã $yJßg¯Rr& !$¤)ystGó$# $VJøOÎ) Èb#tyz$t«sù Èb$tBqà)t $yJßgtB$s)tB ÆÏB tûïÏ%©!$# ¨,ystGó$# ãNÍkön=tã Ç`»us9÷rF{$# Èb$yJÅ¡ø)ãsù «!$$Î/ !$oYè?y»pky¶s9 Yymr& `ÏB $yJÎgÏ?y»uhx© $tBur !$oY÷ytFôã$# !$¯RÎ) #]Î) z`ÏJ©9 tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊÉÐÈ
107. jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa[455],
Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat
kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu
keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian Kami labih
layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan Kami tidak melanggar
batas, Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang yang Menganiaya
diri sendiri".
[455]
Maksudnya: melakukan kecurangan dalam persaksiannya, dan hal ini diketahui
setelah ia melakukan sumpah.[10]
a.
Asbab An Nuzul :
Dari
Ibn Zaid mengatakan , ayat ini mengenai seorang yang akan mati dan tiada
seorang muslim, dan itu terjadi pada permulaan islam ketika masih terjadi
perang antara muslim dengan kafir, juga orang-orang menerima warisnya dengan
wasiat, kemudian dimansukhkan kewajiban wasit dengan ayat pembagian waris yang dilakukan oleh semua orang[11]
Dua orang saudagar beragama Nasrani pada zaman jahiliyah, yakni
Tamim ad-Dari dan’Adiy bin Badaa’. Mereka berniaga diantara syam dengan
hijaz. Biasanya niaga mereka dibawa ke mekkah,
tapi setelah nabi pindah ke Madinah, dan mereka pun berbelok ke Madinah. Suatu
ketika waktu mereka berniaga ke Syam ikut dalam rombongan itu Budail bin Abi
Maryam dari kabilah bani Sahm. Sewaktu diperjalan Budail sakit parah, sewaktu
akan meninggal ia berwasiat tentang harta perniagaannya kepada kedua orang
itu(tamim dan ‘Adiy), agar menyampaikan kepada keluarganya di Madinah. Sampailah harta itu kepada keluarganya,
ternya di dalam bungkusan kecil ada sepucuk surat(daftar barang), maka setelah
dilihat ada barang yang hilang, yakni peti kecil dari perak bersalutkan emas,
lalu merekam mengadu kepada rasullh tentang perihal maslah yang terjadi itu.
Rasullah Saw memerintah kedua belah pihak berkumpul di mesjid ba’da ashar.
Kedua Nasrani itu mengatakan bahwa mereka
terima hanyalah apa yang telah diterima oleh keluarga almarhum,
sedangkan kotak itu mereka tidak tahu-menahu. Pada suatu waktu setelah kasus
itu telah lama hilang kotak itu nampak di kota Mekkah. Seketika dinya dari mana
dia mendapatkan kotak itu!? Orang itu menjawab bahwa dia membeli dari kedua
oarng Nasrani tadi. Kemudian keluarga alm. Yang ditinggal kan mengadu kembali
kepada rasul bahwa tentang barang itu. Rasullah lalu bertanya kepada kedua
nasrani itu dari mana mereka dapat kan barang itu? Mereka menjawab bahwa barang
itu mereka dapatkan dari membeli dari almarhum sewaktu masih hidup dan barang
itu bener dari mereka tapi bukan barang wasiat yang mereka gelapkan.
Tetapi datang sambungan riwayat
lain, bahwa kemudian Tamim dan Adi masuk Islam. Menurut ahli sejarah, dia masuk
islam pada tahun k-9 sesuadh penaklukan mekkah. Sewaktu ia telh menjadi muslim,
ia mengakui persoalan yang dahulu sebenarnya. Dia mengatakan” Allah dan rasul
nya adalah benar! Kotak/petih perak itu memang aku ambil dan kami jual dengan
harga 1000 Dirham, dan uangnya kami bagi berdua.!” Lalu keduanay menyerahkan
1000 Dirham kepada keluarg almarhum.[12]
b. penafsiran
para ulama :
÷bÎ*sù uÏYãã #n?tã $yJßg¯Rr& !$¤)ystGó$# $VJøOÎ)
jika
diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa
yakni jika di tampak dan terbuka serta
terbukti bahwa kedua saksi wasit itu berkhianat atau menggelapkan sebagian
barang yang dititipkan kepadanya.[13]
Maksudnya : harta yang di bawa kan oleh perentara itu ada
yang kurang, tidak cukup, sehingga saksi itu pantas dicurigai telah berbuat
dosa, yakni kecurangan kesaksiaan.[14]
b#tyz$t«sù Èb$tBqà)t $yJßgtB$s)tB ÆÏB tûïÏ%©!$# ¨,ystGó$# ãNÍkön=tã Ç`»us9÷rF{$#
Maka
dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada
orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya.
Lafaf al-awlayani
menurut jumhur ulama. Tetapi telah diriwayatkan dari Ali, Ubay, Hassan Al
Basri bahwa mereka membaca al-awwalani.
Menurut
jumhur artinya”manakala hal tersebut terbukti melalui berita yang benar
menunjukkan keduanya telah berkianat, hendaklah ad dua orang ahli waris dari tirkah
mengajukan tuntutan penggantian. Dan hendaklah ahli waris adalah orang yang
paling dekat kekerabatannya paling berhak menerima waris harta tersebut.[15]
Maksudnya : ketika telah terbukti dan
memiliki bukti bahwa saksi itu berbuat dosa, tidak jujur. Maka hendaklah
berdiri kedua orang keluarga Almarhum untuk membantah pernyataan dari saksi
tadi dengan bukti-bukti yang ad.[16]
Èb$yJÅ¡ø)ãsù «!$$Î/ !$oYè?y»pky¶s9 Yymr& `ÏB $yJÎgÏ?y»uhx©
lalu
keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian Kami labih
layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu.
Yakni
sesungguhnya ucapan kami yang menuduh keduanya berbuat kianat adalah benar, dan
persaksian kami lebih shahih serta lebih kuat dari pada persaksiaan yang
diajukan oleh keduanya tadi.
$tBur !$oY÷ytFôã$#
dan
Kami tidak melanggar batas
Yakni ucapan kami yang mengatakan bahwa keduanya
telah berbuat khianat.[17]
Èb$yJÅ¡ø)ãsù «!$$Î/ !$oYè?y»pky¶s9 Yymr& `ÏB $yJÎgÏ?y»uhx© $tBur !$oY÷ytFôã$#
Maksudnya
: lalu mereka(ahli waris) mengemukakan bukti-bukti bahwa saksi itu curang
adanya. Oleh karena mereka dapat mengemukakan bukti dengan lengkap, itulah
sebab mereka dapat mengatakan bahwa kesaksiaan merekalah lebih patut du terima
daripada kesaksian dari kedua saksi kedua tadi.
Sebagai
kutipan penutup yang menguatkan lagi adalah “karena
kalau begitu” artinya kalau kami melampaui batas dan tidak dapat
mengeluarkan bukti yang cukup : “niscayalah
kami termasuk orang-orang aniaya.[18]
÷bÎ*sù uÏYãã #n?tã $yJßg¯Rr& !$¤)ystGó$# $VJøOÎ) Èb#tyz$t«sù Èb$tBqà)t $yJßgtB$s)tB
Maksudnya
: jika diketahui persaksian orang itu dusta, maka ahli waris harus membantahnya
dan tidak dapat menerimanya.[19]
C. Kesimpulan
Qs.
Ali Imran ayat 107 ini dapat kita mengambil i’tibar, yakni ketika seorang
menyampaikan suatu amanah/pesan dari seseorang dalam ayat ini menerangkan
tentang wasiat barang sebelum ia wafat, haruslah di sumpah agar menguatkan apa
yang disampaikan itu(selama belum ada bukti bahwa persaksiannya itu dusta).
Seketika kita mendapatkan bukti-bukti bahwa persaksian itu dusta, dalam ayat
ini diterangkan tentang penggelapan harta wasiat. Maka haruslah berdiri atau
mengatakan ahli waris bahwa, persaksiaan dia dusta berserta memparkan
bukti-bukti yang ia miliki.
Ketika ahli waris memiliki bukti
yang sempurna atas kedustaan kesaksiaannya maka sumpahnya itu batal(sumpah
palsu). Di dalam Kitab Undang-undang Perdata pada Bab III buku ke Empat
dijelaskan tentang persaksian.
...................................................................................................................................................................
QS. Yusuf 52
y7Ï9ºs zNn=÷èuÏ9 ÎoTr& öNs9 çm÷Zäzr& Í=øtóø9$$Î/ ¨br&ur ©!$# w Ïöku yøx. tûüÏZͬ!$sø:$# ÇÎËÈ
52. "Yang
demikian itu agar Dia (Al Aziz) mengetahui bahwa Sesungguhnya aku tidak
berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu
daya orang-orang yang berkhianat.
1. Asbab
An Nuzul
Kisah
Nabi Yusuf dengan Zulaikha
2. Tafsiran
ayat
“yang demikian”yaitu pengakuan terus
terang yang demikian itu ialah : “mengetahui
bahwa sesungguhnya aku tidak berkianat kepadanya di belakangya”. Perkataan
seperti ini timbul dari hati nurani yang bersih, yaitu saya mengaku hal ini terus teran, sayalah yang salah, bukan
dia. Saya yang merayunya, bukan dia yang merayu saya, dan dia itu adalah orang
yang baik, orang jujur. Saya berkata demikian sedangkan ia tidak ada di tempat.
dan saya tidak ingin mengkhianatinya sedang ia di dalam penjara. Saya tidak
ingin mengurbankannya denan membuat fitna karena” bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat”.
Artinya jika saya tidak mengatakan sebenarnya, saya khianati dia, saya akan
menyulitkan diri sendiri karena kedustaan yang saya karang, lambat-laun akan
jelas juga.
Bahwa
kata-kata “mengetahui bahwa sesungguhnya
aku tidak berkianat kepadanya di belakangya” ialah perkataan Zulaikah kepada
suaminya. Yaitu meskipun ia telah merayu Yusuf pada waktu itu, karena Yusuf
tidak mau mengabulkan rayuannya, tidaklah dia sampai mengkhianati suaminya;
tidak sampai dia berbuat zina dengan Yusuf.
Menurut Hamka lemahnya penafsiran
yang kedua ini. Sebab meskipun sampai terjadi yusuf dan menarik bajunya itu
saja, sudah penghianatan.[20]
Para
ulama memahami ayat ini sebagai ucapan Nabi Yusuf as. Al –Baqa`i menuliskan
bahwa ayat ini seakan-akan menyatakan : setelah utusan Raja kembali lagi
menemui Yusuf dan menyatakan kepadanya tentang dua kesaksian menyangkut
kebersihan namanya,yusuf berkata :yang
demikian itu” adalah sikap aku untuk tetap berada dalam tahanan sampai
jelasnya kebenaran adalah agar dia, yakni
suami wanita yang merayu aku mengetahui
bahwa sesungguhnya aku tidak berkianat kepadanya di belakangya” baik pada
istrinya maupun selain istrinya, dan agar wanita itu mengetahui dengan pengakuannya
dalam keadaan dia berada keadaan lapang dan diliputi oleh rasa aman, serta
sikapku bertahan dalam kesulitan dan rasa takut bahwa Allah tidak menyukseskan tipu daya orang-orang berkhianat.
Tetapi Allah Swt menampakkkan kebenaran walau para pengkhianat berusaha sekuat
tenaga untuk menutupinya.”
Menurut al baqa’i jika itu ungkapan
Yusuf maka memutuskan dengan ayat sebelumnya. Tetapi al baqa’i mengatakan
ucapan yang mengandung hikmah yang demikian dalam itu tidak mungkin diketahi
oleh wanita itu, bahkan tidak mungkin kecuali Yusuf. Dan kata-kata ini
diungkapkan setelah utusan raja yang kedua kali, setelah yang pertama ditolak
apabila belum terbukti kebenarannya.[21]
3. Kesimpulan
Pada
ayat ini menjelaskan cara pengambilan keputusan dalam ayat ini dicerita kan
kisah Nabi Yusuf. Ayat ini menyatakan bahwa cara selanjutnya setelah pada ayat
an nur dan al imran dengan sumpah nya sedangkan ayat ini yakni dengan cara
pengakuan. Dalam KUH perdata nya bisa di lihat yang berkaitan dengan pengakuan
pada Bab V buku Ke Empat.
.............................................................................................................................................................
Bab
III
Kesimpulan
A. Kesimpulan
Dalam mengadapi suatu permasalah/kasus seorang
hakim harus lah memperhatikan aspek-aspek alat bukti, dalam pembahasan ini ada dua cara yakni :
1. Melalui
sumpah
2. Melalui
pengakuan
B. Penutup
Demikian uraian makalah dari kami,mohon
maaf apabila terdapat kekurangan pada konteksnya,kesalahan penulisan,maupun
kekurangan-kekurangan lain. Kritik dan saran yang membangun masih kami perlukan
untuk perbaikan makalah kami di lain waktu.Sekian.
Daftar
Pustaka
Buya Hamka. Tafsir Al Azhar
Quraish Shihab. Tafsir Al misbah
Ash Shaibuni,
Tafsir ayat ahkam
Tafsir Ibnu khatsir
Jalalulin sayuti dan
Jalaludin Muhammad Ibn ahmad Mahally. Tafsir
jalalain
Kitab Undang-undang
Pedata
Tafsir al maragi
[1]
Alquran tarjamah
[2]
Al maraghi,hal 135
[3]
Tafsir al mishbah, 291
[4]
Al maragi hal 135
[5]
Tafsir Al azhar.
[6]
Ash Shabuni, tafsir ayat ahkam
[7]
Tafsir jalalain
[10]
Alqur’an tarjamah
[11]
Al misbah
[12]
Tafsir Al Azhar
[13]
Ibnu khatsir
[14]
Tafsir Al Azhar
[15]
Ibnu khatsir
[16]
Hamka
[17]
Ibnu kathsir
[18]
Tafsir Al Azhar
[19]
Al Misbah
[20]
Al Azhar
[21]
Al Misbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar